I (Part 1)
(marsya)
Lega rasanya
kalau aku sudah menyelesaikan tugasku sebagai siswi selama dua belas tahun.
Sekarang aku sudah resmi menjabat gelar mahasiswa. Senang banget akhirnya aku
bisa duduk di bangku perkuliahan walaupun sebenarnya aku terpaksa masuk kuliah
di sini. Aku enggak lulus masuk universitas yang aku inginkan. Aku bergegas
pergi ke kampus. Dengan baju batik pink dan rok hitam panjang serta jilbab yang
warnanya senada dengan warna baju, aku dengan penuh percaya diri memasuki kelas
322 lantai tiga.
Hanya ingin melapor, sebelumnya aku berdesak-desakan mencari
nama dan kelasku di papan pengumuman. Dan kamu tahu, papan pengumuman dipenuhi
mahasiswa-mahasiswa lainnya. Cukup lima menit, akhirnya aku bisa keluar dari
penderitaan dengan jilbab yang agak kurang rapi sedikit.
Ternyata naik ke
lantai tiga secara manual cukup melelahkan dan membuang-buang energi. Huft,
wajahku langsung berkeringat setelah menyelesaikan beberapa anak tangga.
Nafasku juga ngos- ngosan. Seandainya
saja ada eskalator... agh.. sudahlah. Kampus ini
adalah pilihan orang tuaku. Aku tidak boleh mengeluh.
Pintu kelas
baruku terbuka lebar. Beberapa orang memang sudah ada di sana. Aku mengambil
tempat duduk di sebelah kiri dan jauh dari jendela. Posisinya tidak terlalu
belakang dan depan. Aku duduk di sebelah wanita berjilbab biru donker. Ia
tersenyum ramah ketika aku melintas di hadapannya.
Sebelum ada
instruksi dari siapapun, aku memandangi wajah-wajah teman baru. Ada banyak
wanita di sini dan sayangnya hanya ada tujuh pria saja. Tapi untung saja, tak
ada satu pun yang ganteng. Kalau saja semuanya ganteng, aku bisa membayangkan
wanita-wanita di sini, mungkin termasuk aku bakalan siap saling tarik-tarikkan
jilbab memperebutkan mereka. Hahaha, untung hanya khayalanku saja.
"Teman-teman,
mohon perhatiannya ya" teriak seorang gadis berjilbab kuning itu. Suaranya
mampu mengambil semua perhatian teman-teman, termasuk aku. Khayalanku tentang
tarik-tarikan jilbab tadi buyar. Wanita itu langsung mengambil posisi ke depan
kelas dan memberi instruksi. Wah kalau menurutku, wanita ini punya nyali yang
besar juga buat tampil ke depan.
"Gini
teman-teman. Salam kenal ya dari aku. Namaku Rossy. Ini kan hari pertama kita
kuliah jadi kita harus memilih siapa komisaris mahasiswa di kelas ini. Jadi aku
harap teman-teman bisa kasi usul siapa". Tambah Rossy lagi.
“Iya, bener tuh.
Sebaiknya laki-laki yang menjadi Kosma”, sambung seorang lelaki yang duduk di
sudut depan. Ia memakai baju kemeja merah yang membuat orang sangat segar
menatapnya. Kulit hitamnya juga tertutupi.
“Aku setuju.
Sebaiknya laki-lakinya kenalan dulu. Kan cuma tujuh orang. Terus sampaikan aja
misi dan visi kalian sebagai kosma. Terus baru kita pilih. Voting yang paling
tinggi akan jadi kosma dan yang kedua akan jadi wakil kosma.” Sambung Rossy menjelaskan.
“Ayolah cepat.
Waktu terus berjalan sobat”, sambung wanita berjilbab coklat dengan baju kemeja
kotak-kotak. Bahasanya cukup membuat kami, kawan barunya terdengar akrab.
Suasana hening.
Agaknya kami belum membiasakan diri dengan suasana baru, apalagi harus
memperkenalkan visi dan misi. Terkesan mendadak menurutku. Tiba-tiba saja
seorang pria memakai baju batik coklat maju ke depan. Kulitnya sawo matang.
Hidungnya lumayan mancung. Wajahnya bujur sirih tampak seperti pria cantik.
Bibirnya kecil imut. Kalau dilihat dari wajahnya, ia seperti sudah berumur 20
tahun.
“Sebenarnya aku
berdiri di sini cuma pengen ngasi usul aja. Gimana siapa yang mau jadi kosma,
dia harus tunjuk tangan aja. Mungkin dari tujuh orang ini, palingan juga ada
tiga orang yang mau jadi Kosma. Terimakasih.”, kata pria yang
tinggi semampai. Badannya tegap, tidak kurus dan gemuk. Kelihatan seperti
seorang model. Pria itu langsung berjalan dan kembali ke tempat duduk awalnya,
di belakang sebelah kanan, dekat dengan jendela.
Aku seolah-olah
terhipnotis dengan apa yang disampaikan pria tadi. Aku langsung berdiri dan
mulai menyampaikan aspirasi.
“Aku setuju
dengan apa yang dibilang saudara…” tiba-tiba aku berhenti berkata. Aku lupa
kalau aku belum tahu siapa namanya. Aku langsung memalingkan wajah yang semula
ke depan menjadi ke arah pria tadi. Ia juga menatapku.
“Saudara siapa
ya?” aku bertanya prihal namanya dengan berbahasa sedikit akrab dan mulai
menunjuknya dengan seluruh jari tangan kananku.
“Aku?” sambung
pria tadi.
Aku menganggukkan
kepala.
“Aku Indra,” sambungnya dengan
sedikit senyuman.
Apa? Indra? Apa
aku enggak salah dengar? Oh my god, nama itu lagi. Huft, aku benar-benar benci
mendengar namanya. Dulu sewaktu SMA, aku pernah punya pacar, namanya juga
Indra. Setelah kami pacaran selama tiga bulan. Indra selingkuh dengan sahabatku
sendiri. Sakit sekali kalau orang yang kucinta selingkuh apalagi dengan
sahabatku sendiri. Dasar, pagar makan tanaman. Kenapa aku harus mendengar nama
itu lagi di sini? Aku yakin aku pasti sering mendengar ataupun memanggil nama
itu lagi. Belum lagi sewaktu aku tamat SMA, mama memberiku sebuah kalung yang
mainannya berhuruf I. Huruf I itu dilingkari dengan sebuah bentuk “Love”.
Awalnya aku menolak memakai kalung itu, tapi mama memaksaku. Yah, aku mengerti,
itu bukan dari Indra tapi dari mama. Itulah yang membuatku bertahan sampai
sekarang memakai kalung itu.
“Owh iya,” sambungku lagi agak
sedikit refleks. Aku takut kawan-kawan baruku memikir yang aneh-aneh kalau aku
terus menatap wajah Indra.
“Aku setuju dengan apa yang dibilang
saudara Indra tadi. Lagi pula itu terkesan tidak membuang-buang waktu. Jadi
bagi teman-teman yang ingin menjadi kosma diharapkan untuk maju ke depan.”
Sambungku agak sedikit tegas dan mulai duduk kembali.
Suasana masih
saja hening. Aku bingung dengan mahasiswa-mahasiswa ini. Kenapa mereka
malu-malu maju. Okelah kalau masih malu karena kami ini kawan baru mereka, tapi
kan mereka sudah kami persilakan. Aghh
masa bodohlah. Aku mulai membuka-buka binder dan menulis apapun
sesukaku.
Seorang lelaki memakai baju liris-liris berwarna biru
maju ke depan. Badannya agak sedikit pendek dari Indra. Ia memakai kaca mata
yang tampak sedikit tebal.
“Assalamualaikum warahmatullah
wabarakatuh,” pria itu mulai berbicara.
Kami secara
serempak menjawab salamnya.
“Namaku Arnansyah. Kalian boleh
memanggilku Arnan. Aku ingin mencalonkan diriku sebagai kosma. Jadi bagi kalian
yang percaya sama aku, silahkan pilih aku. Visi dan misiku… jujur aku belum
merancangnya, jadi insyaallah aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk
kalian. Assalamualaikum” Arnan menutup perkenalan dan visi misinya dengan cukup
singkat sekali. Aku saja terkesima hingga sedikit lupa menutup rapat mulutku.
Arnan terlalu cepat berbicara. Jadi kalau mau terus eksis mendengar apa yang
dikatakannya cukup pasang telinga dan jangan berbicara. Biar fokus.
Kemudian pria
memakai kemeja lengan pendek kotak-kotak hitam putih maju ke depan.
“Assalamualaikum teman-teman. Nama
saya Herman. Saya berasal dari sekolah SMA N 3 Medan, tapi saya sekolah di sana
cuma setahun. Lalu saya pindah ke Jakarta dan sekarang saya kembali lagi ke
Medan. Sama seperti saudara Arnan tadi, insyaallah saya akan melakukan yang
terbaik buat kelas ini”. Tutupnya mantap. Bahasanya cukup santun memakai kata
“saya”. Terdengar intelektual.
Suasana kembali
hening. Calonnya baru dua, padahal aku berharap ada tiga. Sebenarnya aku
berharap kalau orang yang namanya Indra tadi ikutan mencalonkan diri. Aku
meliriknya sedikit. Ia kelihatan masih asyik dengan lamunannya. Kalau
dilihat-lihat Indra yang ini cukup cuek. Aku suka gayanya yang agak kurang
peduli.
“Siapa lagi yang ingin mencalonkan
diri, harap untuk maju ke depan. Kalau lima menit enggak ada yang mau,
pencalonan kita tutup dan mulai voting karena sebentar lagi bu Dewi akan masuk
ke kelas kita,” ucap Rossy secara tegas.
Yah, kata-kata
Rossy tadi membuat Indra kembali fokus dengan
pencalonan ini. Ia langsung bangkit dari tempat duduk dan menuju ke depan
kelas.
“Selamat siang teman-teman. Namaku
Indra Afrizal. Kalian bisa memanggilku Indra atau Afri. Tapi aku berharap kalian memanggilku
Afri. Aku belum buat visi dan misi tapi aku janji sama kalian untuk melakukan
yang terbaik semampuku buat kelas ini.” Katanya tegas dan membuat teman-teman
tampak lebih fokus.
Akhirnya
perkenalan visi dan misi selesai juga. Saatnya untuk voting. Aku bingung harus
memilih siapa. Awal perkenalan belum bisa menunjukkan karakter seseorang. Belum
tentu apa yang diucapkan sesuai dengan apa yang dilakukannya nanti. Ini sebuah
tanggung jawab. Sewaktu ospek dulu, kakak senior pernah bilang kalau kosma
adalah pemimpin anggota-anggotanya. Tugas dan tanggung jawabnya cukup berat.
Kosma harus merelakan waktunya untuk mencari, menunggu dan ditolak dosen yang
bersangkutan. Belum lagi karakter teman-teman yang kurang sependapat dengan
kosma. Kosma mesti sabar dan berjiwa besar.
Enggak terasa
giliranku tiba juga. Aku melangkah pelan dan mulai menimbang-nimbang siapa yang
layak jadi kosma. Kupandangi nama mereka satu persatu diatas kertas voting.
Kalau Arnan, ia terlalu cepat berbicara, tampak tergesa-gesa. Di mataku, Arnan
mulai gugur jadi kosma. Kalau Herman, dia punya nilai plus tersendiri.
Bahasanya lumayan santun dan seperti orang-orang pintar berintelektual tinggi.
Kalau disuruh bernego dengan dosen supaya libur satu hari lumayan bisalah si
Herman. Okelah kalau Herman, pilihannya aku simpan dulu. Beranjak ke Indra.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengabaikannya. Alasan pertama yang membuatku
seperti itu karena jelas namanya sama dengan mantanku. Kalau urusan namanya sama
aku tidak bisa mentolerir. Pilihanku ini terlalu subjektif. Aku langsung
melingkari nama si Herman di kertas itu.
Beberapa menit
kemudian tim sukses kelas kami berhasil mengakumulasi voting. Terpilihlah
Herman sebagai kosma dan Arnan sebagai wakil kosma. Beberapa teman-teman
memberi selamat. Wajah Arnan dan Herman tampak kegirangan menerima kata
‘selamat’. Berbeda sekali dengan Indra. Ia malah keluar kelas dengan wajah yang
penuh amarah. Sebelumnya ia menggeser satu kursi dengan kakinya dan terdengar
cukup keras. Semua orang yang ada di kelas itu bingung. Mata kami tertuju pada
Indra yang melangkah menjauhi kelas.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^