Karena gadis belia (Part II)
(Indra)
Aku langsung menancapkan gas lalu melaju kencang meninggalkan kampus. Tadi
aku tidak sengaja menendang kursi dan menimbulkan suara yang membuat
teman-teman baruku menatapku sinis. Aku rasa mereka mengira kalau aku emosi
karena enggak terpilih tadi. Padahal aku emosi karena mendapati informasi dari
Kak Maria, tetangga sebelah rumah, kalau ayahku sedang bersama gadis belia itu
di kafe.
Berbicara soal ayah, aku rindu sosok ayah yang dulu. Ayah yang selalu bisa
menjadi sosok mama sekaligus di mataku. Menyiapkan makanan setiap hari,
mengajariku kali-kali dan bagi-bagi, menjemputku pulang sekolah, teman curhatku
ketika aku mulai mengenal cinta monyet, bahkan menemaniku main ps di rental.
Alhasil waktu itu ayah membelikanku ps ketika aku dapat juara satu di kelas.
Itu dulu tapi tiga tahun belakangan ini tidak lagi. Itu karena ayah
mengenal gadis belia yang cocok menjadi kakakku. Namanya Clara. Jelas saja,
umurku dan umurnya cuma beda dua tahun. Entah apa yang dicekokin gadis itu
hingga akhirnya ayahku bisa tunduk dan memberikan seperempat harta kami
kepadanya. Ayah sudah membelikannya rumah dan isinya di Medan ini. Belum lagi tiap
bulan kehidupannya sudah menjadi tanggungan ayah.
“Untuk apa sih ayah memberi semuanya buat cewek itu?” tuturku tegas pada
ayah beberapa waktu lalu.
“Kau tidak mengerti Af. Dia enggak punya siapapun di dunia ini. Semua
saudaranya sudah meninggal akibat gempa yang dahsyat di Padang dua tahun lalu,”
ayah mencoba membuatku mengerti.
“Lalu mengapa ayah tidak menikahi wanita sialan itu? Kenapa ayah mau
memacarinya?” tambahku tanpa memikirkan apa yang aku katakan.
Ayah mulai melambaikan telapak tangannya dan mendarat sempurna di pipi
kiriku. Aku terkejut bukan karena rasa sakit yang mendera tetapi karena baru
kali ini ayah menamparku. Lantas, aku langsung menarik meja dan membalikkannya
hingga kaca meja itu pecah dan menimbulkan suara yang membuat Buk Minah, ibu
asuh sekaligus pembantu kami keluar dari kamar. Berkali-kali dia beristighfar.
Aku mulai memasuki kafe yang diberi tahu alamatnya oleh Kak Maria melalui
sms. Mencari-cari ayah dengan menyamar menjadi pelanggan. Tepat di depan
target, aku langsung menunduk dan membuka majalah pelan-pelan. Sesekali aku
mendengar pembicaraan mereka. Aku lihat ayah sedang menyodorkan beberapa kertas
kepada gadis itu. Dan gadis itu terlihat seperti menandatangi kontrak. Aku jadi
penasaran apa isi tulisan kertas itu. Rasanya aku ingin beranjak dari tempat
duduk, mengambil kertas dan menampari wanita itu agar ia tak semena-mena
menggoda dan merayu ayahku.
Enggak berapa lama wanita itu pergi keluar kafe. Tapi ayah masih tetap di
tempat duduknya.
“Mau pesan apa Mas?” suara waitress mengganggu introgasiku.
“Eh,” gumamku sambil menutup majalah yang sedari tadi aku pegang.
“Aku pesan capuccino dingin aja. Cepat ya. Kalau lama, aku pulang aja,”
ancamku yang sebenarnya enggak niat pesan minuman.
Waitress itu mengangguk, “Iya Mas”.
Ayah sibuk dengan hapenya yang sedari tadi menelpon. Ayah berbicara
sebentar lalu menutup telponnya. Terus, ayah menelpon orang lagi. Waitress
datang menghampiriku dengan capuccino yang kupesan tadi. Kelang beberapa menit,
ayah juga keluar kafe. Ia enggak menyusul gadis itu, ia pergi yang arahnya
berlawanan dengan gadis tadi.
“Silahkan dinikmati Mas,” ungkapnya ramah dan membuatku fokus dengan
capuccinonya.
###
Aku membuka-buka file yang ada di komputer yang ada di perpustakaan mini
milik ayahku. Biasanya ayah menggunakan komputer itu untuk kerja. Kubuka
folder-folder kerja ayah, tapi aku masih tidak mendapati data-data apapun
tentang gadis itu. Lalu aku membuka folder-folder foto. Seakan kembali ke masa
lalu, ternyata ayah masih menyimpan foto-foto almarhumah mama. Yang buat aku
berkesan bukan itu tapi nama foldernya “istriku selamanya”. Lalu aku membuka
folder foto-fotoku bersama ayah dulu. Foto jalan-jalan ke Jakarta ketika aku
berumur tujuh tahun. Ayah mengajakku ke Dufan. Lalu aku membuka foto-foto perlombaanku
jadi model sewaktu SMA. Ayah yang mengambil fotoku waktu aku jalan berpose.
Terus aku memutar video ketika aku lomba pidato bahasa Inggris di SMP. Semua
itu ayah yang mengambil foto dan merekam videoku. Rasanya aku merasa bersalah
selama ini. Belakangan ini hubunganku dengan ayah renggang. Aku menyesal
mengabaikan semua sapaan ayah di pagi hari, ucapan selamat tidur tiap malam.
“Maafkan Afri ayah,” gumamku dalam hati.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^