Tinggal pilih entri yang kamu suka

Tuesday, June 25, 2013

Novel : Tragedi Filosofi I

 
Karena gadis belia (Part II)
(Indra)
Aku langsung menancapkan gas lalu melaju kencang meninggalkan kampus. Tadi aku tidak sengaja menendang kursi dan menimbulkan suara yang membuat teman-teman baruku menatapku sinis. Aku rasa mereka mengira kalau aku emosi karena enggak terpilih tadi. Padahal aku emosi karena mendapati informasi dari Kak Maria, tetangga sebelah rumah, kalau ayahku sedang bersama gadis belia itu di kafe.
Berbicara soal ayah, aku rindu sosok ayah yang dulu. Ayah yang selalu bisa menjadi sosok mama sekaligus di mataku. Menyiapkan makanan setiap hari, mengajariku kali-kali dan bagi-bagi, menjemputku pulang sekolah, teman curhatku ketika aku mulai mengenal cinta monyet, bahkan menemaniku main ps di rental. Alhasil waktu itu ayah membelikanku ps ketika aku dapat juara satu di kelas.
Itu dulu tapi tiga tahun belakangan ini tidak lagi. Itu karena ayah mengenal gadis belia yang cocok menjadi kakakku. Namanya Clara. Jelas saja, umurku dan umurnya cuma beda dua tahun. Entah apa yang dicekokin gadis itu hingga akhirnya ayahku bisa tunduk dan memberikan seperempat harta kami kepadanya. Ayah sudah membelikannya rumah dan isinya di Medan ini. Belum lagi tiap bulan kehidupannya sudah menjadi tanggungan ayah.
“Untuk apa sih ayah memberi semuanya buat cewek itu?” tuturku tegas pada ayah beberapa waktu lalu.
“Kau tidak mengerti Af. Dia enggak punya siapapun di dunia ini. Semua saudaranya sudah meninggal akibat gempa yang dahsyat di Padang dua tahun lalu,” ayah mencoba membuatku mengerti.
“Lalu mengapa ayah tidak menikahi wanita sialan itu? Kenapa ayah mau memacarinya?” tambahku tanpa memikirkan apa yang aku katakan.
Ayah mulai melambaikan telapak tangannya dan mendarat sempurna di pipi kiriku. Aku terkejut bukan karena rasa sakit yang mendera tetapi karena baru kali ini ayah menamparku. Lantas, aku langsung menarik meja dan membalikkannya hingga kaca meja itu pecah dan menimbulkan suara yang membuat Buk Minah, ibu asuh sekaligus pembantu kami keluar dari kamar. Berkali-kali dia beristighfar.
Aku mulai memasuki kafe yang diberi tahu alamatnya oleh Kak Maria melalui sms. Mencari-cari ayah dengan menyamar menjadi pelanggan. Tepat di depan target, aku langsung menunduk dan membuka majalah pelan-pelan. Sesekali aku mendengar pembicaraan mereka. Aku lihat ayah sedang menyodorkan beberapa kertas kepada gadis itu. Dan gadis itu terlihat seperti menandatangi kontrak. Aku jadi penasaran apa isi tulisan kertas itu. Rasanya aku ingin beranjak dari tempat duduk, mengambil kertas dan menampari wanita itu agar ia tak semena-mena menggoda dan merayu ayahku.
Enggak berapa lama wanita itu pergi keluar kafe. Tapi ayah masih tetap di tempat duduknya.
“Mau pesan apa Mas?” suara waitress mengganggu introgasiku.
“Eh,” gumamku sambil menutup majalah yang sedari tadi aku pegang.
“Aku pesan capuccino dingin aja. Cepat ya. Kalau lama, aku pulang aja,” ancamku yang sebenarnya enggak niat pesan minuman.
Waitress itu mengangguk, “Iya Mas”.
Ayah sibuk dengan hapenya yang sedari tadi menelpon. Ayah berbicara sebentar lalu menutup telponnya. Terus, ayah menelpon orang lagi. Waitress datang menghampiriku dengan capuccino yang kupesan tadi. Kelang beberapa menit, ayah juga keluar kafe. Ia enggak menyusul gadis itu, ia pergi yang arahnya berlawanan dengan gadis tadi.
“Silahkan dinikmati Mas,” ungkapnya ramah dan membuatku fokus dengan capuccinonya.
###
Aku membuka-buka file yang ada di komputer yang ada di perpustakaan mini milik ayahku. Biasanya ayah menggunakan komputer itu untuk kerja. Kubuka folder-folder kerja ayah, tapi aku masih tidak mendapati data-data apapun tentang gadis itu. Lalu aku membuka folder-folder foto. Seakan kembali ke masa lalu, ternyata ayah masih menyimpan foto-foto almarhumah mama. Yang buat aku berkesan bukan itu tapi nama foldernya “istriku selamanya”. Lalu aku membuka folder foto-fotoku bersama ayah dulu. Foto jalan-jalan ke Jakarta ketika aku berumur tujuh tahun. Ayah mengajakku ke Dufan. Lalu aku membuka foto-foto perlombaanku jadi model sewaktu SMA. Ayah yang mengambil fotoku waktu aku jalan berpose. Terus aku memutar video ketika aku lomba pidato bahasa Inggris di SMP. Semua itu ayah yang mengambil foto dan merekam videoku. Rasanya aku merasa bersalah selama ini. Belakangan ini hubunganku dengan ayah renggang. Aku menyesal mengabaikan semua sapaan ayah di pagi hari, ucapan selamat tidur tiap malam. “Maafkan Afri ayah,” gumamku dalam hati.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^