Tinggal pilih entri yang kamu suka

Cerpen


KARENA DALAM CINTA ADA SAYANG

Matamu bulat. Seperti bola pimpong tapi ini lebih kecil lagi. Aku suka melihat matamu menatap lekat mataku. Saat-saat dimana kau selalu mencurahkan setiap keluhanmu. Aku suka tatapan seperti itu walau aku sama sekali tak suka mendengar keluhmu. Lagi-lagi aku harus menenangkanmu, menghapus setiap lirih di batinmu. Aku senang bisa membantumu. Tapi sepertinya sekarang aku tidak bisa mendengar keluhmu lagi karena kau selalu menghadirkan wajah ceria dan senang di hadapanku. Entah itu hanya sebuah sandiwara saja.

Kau berubah. Aku bingung melihatmu. Kau seperti bersandiwara saat ini. Terlihat senang namun sakit di dalam. Belakangan ini kau tak menegurku lagi. Pernah sesekali aku menyapamu, tapi kau hanya balas dengan ritme sedingin mungkin, “Iya. Ada apa Dafa?”. Aku hanya bisa tersenyum ketika kau menjawab seperti itu. Ingin rasanya aku menghancurkan suasana dingin ini tapi kau selalu saja menggagalkannya. Kau selalu punya alasan untuk pergi. Kau bilang kau ada kelaslah, atau kau sibuk dengan bisnismu sekarang. Lambat laun akhirnya aku mengerti mungkin kau sedikit kecewa denganku. Aku yang sekarang ini sudah menyandang sebagai kekasihmu.

Beberapa waktu lalu aku mengangkat telponmu. Kudengar dari arah sana kau bertanya tentang dimana keberadaanku. Sebenarnya aku sudah menjawab, namun kau balas dengan, “Apa? Aku tidak bisa mendengar suaramu”. Aku tahu itu. Waktu itu aku sedang berada di jalan sambil mengendarai motor yang dulu amat sering kau duduki. Mustahil jika kau mendengar jelas suaraku. Aku langsung memberhentikan motorku di pinggir jalan tapi kau telah menutup telponnya. Aku ingin menelponmu lagi tapi sayang aku tak punya banyak pulsa. Kurasa kau cukup memaklumiku tentang itu.

Malam sudah semakin larut. Aku sulit memejamkan mata. Entahlah. Aku ingin mengirim sms selamat malam untukmu. Tapi lagi-lagi kau harus memaklumiku. Rasanya aku bukanlah pria yang kau idamkan. Aku tak memiliki apa-apa. Yang kumiliki hanya sebongkah kasih sayang. Itu pun kalau kau sendiri percaya bahwa aku menyayangimu.

Hapeku berdering. Ternyata kau yang menelpon. Aku langsung mengangkatnya. Dari sana, kau melontarkan salam yang terdengar lembut di telingaku. Aku jawab salam itu tak kalah lembutnya. Suaramu sangat jelas kukenal. Walau kau terus-terusan mengganti nomor saat menelponku. Malam ini kau menanyaiku tentang siapa gadis yang kubonceng tadi siang. Kau bilang kau melihatku dari atas sana bersama seorang gadis. Salahnya aku dan gadis itu terlihat akrab. Makanya kau kelihatan ngotot ingin tahu.

“Apa kau cemburu?” tanyaku dengan tempo agak lambat. Kau terdiam. Kau seperti kehilangan kata-kata. Lalu aku bertanya sekali lagi dengan pertanyaan yang sama. “Iya” jawabmu singkat tapi aku rasa kau tidak benar-benar cemburu.

“Mengapa kau bisa cemburu? Apa itu karena cinta?” tanyaku sedikit yakin agar aku tahu kalau kau sebenarnya memang benar-benar cemburu. Aku harap begitu.

“Kan sudah kubilang sejak awal. Kalau aku sudah punya hubungan dengan seseorang, pasti hanya orang itu aja yang ada di dalam hatiku. Enggak ada yang lain. Jadi jangan buatku seperti ini. Aku bukannya cemburu kau bersama orang lain tapi aku cuma takut kau mainin. Hanya itu. Jadi siapa perempuan itu?” jelasmu dengan nada yang berubah. Nadanya berbeda dengan sebelumnya, lebih tinggi.

“Dia itu teman dekatku. Udah?” aku sedikit emosi.

“Aku juga sudah bilang dari awal kalau jangan pakai cinta tapi pakai sayang. Kalau pakai sayang pasti kau tidak akan seperti ini. Cinta itu sangat menyakitkan” jawabku enggak mau kalah. Aku berusaha memberitahumu definisi dan perbedaan antara cinta dan sayang.

Kau hanya terdiam. Aku rasa kediamanmu itu pertanda kalau kau tak setuju denganku. Karena memang sejak awal kau selalu membanggakan cinta, bukan kasih sayang. Kau bilang kasih sayang itu hanya milik seorang ibu kepada anaknya dan Tuhan kepada hambanya. Lagi-lagi kau benar tentang definisi sayang yang tersirat tapi kau salah karena bukan hanya ibu dan Tuhan yang memiliki kasih sayang. Aku juga memilikinya. Aku sayang kamu.

“Boleh aku bertanya?” aku meminta izin padamu agar kau tak diam seperti ini. Aku tak suka melihatmu diam. Karena diam hanya menimbulkan spekulasiku yang aneh-aneh. Lebih baik kau melontarkan segala yang tidak kau suka terhadapku.

“Apa?”

“Kemarin Dedi menembakmu kan? Waktu itu kan aku sudah bilang kalau semua keputusan hanya ada padamu. Aku ikhlas kalau kau menerima Dedi,” ungkapku. Aku berharap kali ini kau mengucapkan sepatah kata mengapa kau bisa menerimaku. Tapi nyatanya aku hanya mendengar suara oksigen yang kau hirup dari telpon seluler ini.

“Dulu derajat aku dan Dedi sama kan? Sama-sama temanmu kan?”

“Iya”

“Jadi sekarang derajat aku dan Dedi beda kan? Mana yang lebih tinggi derajatnya? Aku atau Dedi?

“Kau”

“Lalu mana yang lebih menyakitkan. Aku atau Dedi?”

“Kau,” kau jawab dengan jawaban yang sama. Aku sudah bisa menebak itu sebelumnya.

“Terus, mana yang lebih bisa membuatmu bahagia? Aku atau Dedi?”

“Kau,” jawabanmu sangat sulit aku mengerti.

 Jawaban terakhirmu kurang masuk akal. Seharusnya Dedi yang bisa membuatmu bahagia, bukan aku. Karena aku sudah menyakitimu. Seharusnya begitu. Tapi kau sanggah pernyataanku. Kau jawab, “Perasaan enggak bisa dijawab dengan logika, Daf!”. Kini aku yang malah diam.

Suasana kembali seperti semula seperti saat pertama kalinya aku mengejarmu. Saat pertama kalinya aku bersungguh-sungguh untuk mendekatimu. Kau tidak segalak seperti tadi. Aku suka suasana ini. Dengan lantangnya aku menjelaskan lagi definisi cinta dan sayang. Sudah berulang-ulang kali aku menjelaskan bahwa sayang itu indah. Untuk menjalin hubungan seperti pacaran, kita tak butuh cinta. Lalu kau tanya lagi. Pertanyaan ini justru membuatku bingung. Aku tak tahu harus menjawab apa.

“Apa sayang itu bisa memudar? Atau sayang itu bisa hilang?”

 Kali ini aku butuh banyak pengalaman. Aku sendiri tidak yakin kalau sayang ini akan bertahan lama. Tapi untuk seorang gadis yang rela menelponku ini, aku berani jamin kalau sayang ini tidak akan memudar.

“Sayang ini tidak akan pernah memudar. Bahkan ia terus bertambah setiap harinya. Sama seperti kita punya seorang tante. Tante kita akan terus menyayangi kita walaupun adik kita sudah lahir. Sayang itu tidak akan berpindah dari kita ke adik kita tapi malah sayangnya pada kita semakin bertambah. Tante kita juga sayang dengan adik kita. Semakin besar kita maka sayang itu semakin bertambah besar pula,” aku menjawab dengan analogi yang cukup sederhana supaya kau mengerti dan memuliakan kasih sayang. Mendengar itu kau malah tertawa.

“Berarti kau ingin berpoligami” sambungmu lekas sehabis tertawa tadi.

Aku hening. Lambat laun suaramu menghilang. Telpon sudah terputus. Itu terakhir kalinya aku mendengar suaramu dengan bahasan dari hati ke hati seperti ini. Setelah itu kau menjauh.

###

Beberapa hari ini setelah kejadian itu kau semakin berbeda. Kau tidak pernah lagi membahas tentang hubungan kita. Kita bukan seperti sepasang kekasih lagi tapi entahlah. Jika kau marah denganku karena aku membawa seorang gadis, kau boleh memakiku tapi tidak untuk mendiamiku seperti ini. Kau membuatku semakin bingung. Kau selalu menyunggingkan senyum dimanapun kau berada. Kau terlihat semakin cantik dengan senyumanmu itu. Karaktermu di depanku juga jauh berbeda. Saat pertama kalinya kau menerimaku, kau jadi salah tingkah setiap kali bertemu denganku atau setiap kali kuajak bicara. Kau selalu menunduk padahal aku ingin sekali menatap mata bulatmu itu lebih lama makanya aku sangat sering mengajakmu ngobrol bersama walau kau selalu menolak. Aku tahu, kau salah tingkah. Sebab, rasa itu sudah berbeda sekarang. Yang dulunya kita berteman akrab kini malah kita menjadi sepasang kekasih. Sayangnya, salah tingkahmu itu sudah hilang sekarang. Mungkin kau sudah terbiasa atau mungkin cintamu sudah pudar padaku. Aku berharap intensitas pertemuan kita yang semakin sering membuatmu terbiasa dan tak salah tingkah lagi. Nyatanya itu hanya sebuah pikiranku saja. Orang-orang yang tak tahu hubungan tentang kita malah bilang kau jatuh cinta dengan Indra, teman sekelasmu yang dulu selalu kau ceritakan padaku sewaktu kita masih berteman. Aku masih ingat alur cerita antara kau dan dia. Aku masih ingat hari apa dan tanggal berapa kau pernah meneteskan air mata untuknya. Waktu itu dia marah padamu hanya karena kau tidak mau menceritakan masalahmu padanya. Ia memarahimu bahkan ia tak mau memaafkanmu selamanya. Saat itu aku masih bisa melihat getaran dahsyat di bibir imutmu itu. Kau panik. Kau berusaha menelponnya tapi ia sama sekali tidak mau mengangkatnya. Kau menunggunya sejak pagi agar ia datang dan kau dengan leluasa mengemis-ngemis maaf darinya. Namun, ia tak kunjung datang. Satu yang bisa kuambil kesimpulan tentang masalahmu adalah ia sangat mencintaimu bukan menyayangimu makanya ia bisa bertindak seperti ini, memaki-makimu. Sayangnya aku tak ingin memberitahumu tentang kesimpulan itu. Aku takut kau dan dia bersama. Ini bukan sebuah kecemburuan tapi ini sebuah kasih sayang. Aku tidak ingin ia dapat meraihmu. Karena kau sepantasnya hanya untukku. Aku yang berhak menjagamu.

Aku rasa perkataan orang-orang tentang kau dan dia ada benarnya. Karena gerak-gerikmu mendukung perkiraan-perkiraan yang ada. Pernah kudengar kau sedang bercerita tentang Indra dengan Ratna, teman sekelasku. Tapi yang kudengar hanya samar-samar. Kurasa itu kisah masa lalu yang juga kau pernah ceritakan padaku satu tahun yang lalu. Aku anggap itu hanya angin lalu. Kalaupun salah, aku berharap kau sedang menguji kasih sayangku. Kau berusaha membuatku cemburu. Lalu malamnya aku menelponmu dan bertanya tentang hubunganmu dengan Indra. Seperti itu kan yang kau mau? Aku adalah lelaki yang memegang erat omonganku. Meskipun kenyataannya benar aku cemburu, aku tetap berpura-pura tidak cemburu dan tidak mendengar apapun tentang hubungan kalian. Aku berusaha tidak tahu di depanmu.

Semakin hari ternyata aku semakin tahu kalau aku salah setelah aku mendengar semuanya dari Bang Hasyim, teman dekat aku dan Ilma. Ilma tidak benar-benar mencintaiku. Ia masih berada dalam bayang-bayang Indra. Entahlah. Atau mungkin Indra yang masih saja membayangi kehidupan Ilma hingga Ilma semakin kokoh berada di dekatnya. Kemungkinan yang lebih besar lagi kalau mereka memang saling bayang-membayangi. Mereka masih saling membutuhkan. Sekali lagi aku benar-benar salah.

###

Aku salah dan kau Ilma, kau benar. Kini hanya kata maaf yang terucap. Maaf jika aku pernah menyakitimu. Tanpa kusadari kau sudah tahu sejak lama tentang hubunganku dengan Syifa, teman sekelasku juga. Aku tidak tahu siapa yang telah memberitahu tentang itu. Tapi seandainya aku tahu siapa maka aku akan banyak-banyak mengucapkan beribu terimakasih karena telah menyadarkanku dengan kepergianmu. Aku jadi semakin tahu arti kehilangan. Awalnya aku tidak pernah terpikir untuk menduakanmu. Aku hanya ingin mengembangkan sayap-sayap kasih sayang ini, tapi nyatanya aku gagal. Makanya aku tidak bisa menjelaskan denganmu hubungan antara kasih sayang dan poligami waktu itu. Aku lega ketika itu telpon terputus.

Aku mengira kau salah karena telah mengandalkan cinta. Tapi pada kenyataannya aku yang salah karena aku telah mengotori sayang. Aku tidak perlu mengajarimu lagi arti kata sayang karena sebenarnya dalam cinta itulah ada sayang. Tapi sayang selalu tidak memiliki cinta hingga akhirnya sayang ini semena-mena. Izikanku mengatakan bahwa kali ini kau juga salah karena ibu dan Tuhan sebenarnya juga memiliki cinta.

 

Rey Buat Ilma

 

Malam ini aku putuskan untuk menghapusnya dari ingatanku. Lebih tepatnya menghapus namanya dari lingkaran cinta di hatiku. Sebenarnya aku gak mau melakukan ini tapi karena keadaan hati yang selalu memaksaku untuk tidak mencintainya lagi. Memang aku hanya sekedar mencintainya dalam hati saja dan tak ingin orang tau tentang perasaanku yang sesungguhnya. Namun apa itu cukup membuatku mudah untuk melupakannya. Ternyata tidak. Kalau aku bisa menggambarkan isi hatiku saat ini, hatiku hancur berkeping-keping dengan cara yang udah aku lakukan. Sakit sekali rasanya. Malam ini juga aku membakar buku diaryku yang kebanyakan isinya hanya tentang dia, dia dan dia di depan halaman rumahku. Andai saja dia tau kalau aku juga membakar diary itu dengan air mataku sendiri. Aku termenung menyaksikan pembakaran itu. Sebenarnya dari hati kecilku sendiri, aku tak ingin melakukan itu. Seandainya perasaanku yang bermain disitu, aku pasti sudah leluasa untuk memadamkan api itu tapi karena logikaku mengarahkanku untuk tegar, maka apapun yang terjadi aku akan tetap membiarkannya terbakar. Sama seperti hatiku saat ini. Panas.

###

Pagi-pagi buta aku sudah berangkat ke kampus. Sesampainya di kampus aku sama sekali tak menemui teman sekelasku. Kelas masih kosong. Aku duduk di sudut paling belakang dan membuka-buka file yang ada di laptopku. Aku ingin menulis. Menulis apa aja yang yang ada di benakku. Tanganku dengan sangat cepat bermain di tuts keyboard. Ketika begitu asyiknya aku terhanyut dengan tulisanku, aku gak tau kalau ada seseorang yang datang menghampiriku. Aku tau siapa dia.

“Hey, kok tumben cepat datang?” sapa Rey tiba-tiba kepadaku.

Aku terkejut mendengar suaranya. Secara tiba-tiba pula jantungku berdetak lebih kencang. Berbeda dari biasanya. Aku mencoba menutupi kondisi hatiku saat ini dengan seulas senyum yang aku pamerkan padanya.

“Iya, pengen cepat aja biar gak telat” sambungku menjawab pertanyaannya.

Aku membiarkannya tetap di sampingku. Ia tampak sedang memerhatikanku menulis. kubiarkan saja dia. Sama sekali aku tak ingin berkomunikasi dengannya. Aku hanya menjawab pertanyaannya kalau dia menanyaiku. Sekitar sepuluh menit kami saling terdiam. Selama itu pula ia memerhatikan tulisanku.

“Wah, bagus ya cerpenmu. Kayaknya dari hati tuh nulisnya” ujarnya tampak tulus.

“Makasih” jawabku sederhana.

“Kamu kenapa sich. Kok jadi pendiam gitu? Berubah” ungkapnya.

Seketika itu jantungku berdetak semakin kencang. Mengapa dia tahu kalau aku berubah? Entahlah. aku heran dengan dia. Sudah hampir satu tahun kami saling mengenal. Dan bagiku dia adalah orang yang benar-benar tau tentang psikologiku. Lebih tepatnya isI hatiku. Tapi mengapa dia gak tau kalau aku benar-benar membutuhkannya? Apa dia tidak bisa membaca perasaanku? Mengapa dia tidak bisa mengartikan tatapanku? Hah! Begitu banyak pertanyaan yang harus aku lontarkan padanya. Andai kau tau perasaanku ini Rey, pasti kau bakal tertawa lepas atau mungkin heran mengapa gadis cuek dan dingin sepertiku bisa jatuh hati denganmu. Atau mungkin kau akan puas karena harapanmu telah menjadi kenyataan dan kau menang!. Aku terus saja membatin.

“Gak kok biasa aja” aku terus membela diri.

“Terserahmulah!” sambung Rey kesal dan pergi meninggalkanku.

Rey marah. Seperginya Rey dari kelas tadi, aku langsung mematikan laptop. Aku tau kalau Rey lagi marah. Dia sering puasa ngomong denganku sebagai tanda marahnya itu. Hah! Menggondokkan. Aku harus bersiap-siap untuk pura-pura tegar dan senang tanpanya.

###

Dari hari kehari hubunganku semakin longgar dan menjauh. Kubiarkan aja tetap seperti itu. Memang itukan yang ia inginkan. Perlakuannya cukup membantuku untuk melupakannya. Terimakasih. Itu adalah bentuk dari kelogikaanku, kalau perasaanku lain lagi. aghhh… aku tak ingin bermain perasaan disini.

“Ilma, ada yag ingin aku bicarakan sama kamu” sapa Sarah ketika aku lagi jalan ke halte, menunggu angkot datang.

“Apa?” jawabku seadanya.

Kami terus saja berjalan ke arah halte. Disana gak ada satu orang pun yang menunggu angkot. Jadi aku putuskan untuk membahas apa yang ingin dibilang Sarah padaku di halte nanti.

“Gini Ma, sebentar lagi Rey bakal pergi ke Jakarta. ayahnya pindah tugas say” Sarah menjelaskan.

“Lalu apa hubungannya denganku?”

“Ich, kok gitu sich ngomongnya. Kamu kenapa sich belakangan ini sama Rey. Kok gak akrab lagi? aku heranlah sama kalian. Ada apa sich?” pertanyaan Sarah bertubi-tubi menyerangku.

“Apa kamu gak cinta dengan Rey lagi?” tanya Sarah secara tiba-tiba. Memang selama ini Sarah yang tau perasaanku. Kurasa aku harus menjelaskan secara detail dengan Sarah agar dia mendukung cara yang selama ini aku lakukan.

“Kamu gak tau Rah yang sebenarnya. Aku ingin menghapus dia dari ingatanku. Buat apa cinta yang tak ada ujungnya dipertahankan. Cuma bisa buat sakit hati aja. Capek Rah mencintai sesuatu yang tanpa ujung. Gak ada kepastian. Capek harus diulur-tarik sama dia. Aku gak bisa Rah. Aku nyerah mencintai orang yang seperti dia. Sakit rasanya. Kalaulah memang dia sama sekali gak punya perasaan sama aku, untuk apa dia lakukan semua yang aku suka, menarik perhatianku dan dulu juga dia pernah bilang sama aku kalau dia berikrar sebisa dia membuatku jatuh cinta. Apa maksudnya itu? Dia ingin buat aku terluka? Aku benci sama dia. Aku nyerah Rah” jelasku.

Aku puas mengungkapkan semua isi hatiku dengan Sarah. Ia hanya terdiam mendengar penjelasanku. Sama sekali gak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan.

“Dua hari lagi Rey bakal pergi Ma” sambung Sarah. Suaranya nyaris tak terdengar.

“Yodah, pergi aja” jawabku cuek dan acuh tak acuh.

###

Hari ini adalah hari keberangkatan Rey ke Jakarta. Satu hari ini aku berniat untuk tidak keluar rumah. Untung aja hari ini adalah hari libur. Jadi aku bisa satu harian menetap di kamar. Aku juga mematikan hp dan menonaktifkan facebookku. Sama sekali aku tak ingin berkomunikasi dengan Rey. Aku benci dia.

“Ma, ada orang datang mencarimu” kata Mbok Minah menggedor kamarku

“Siapa Mbok?” jeritku dari kamar.

“Nak Rey, Ma”

Rey? Rey datang?. Hah! jantungku kumat lagi. ia berdetak lebih kencang lagi mendengar nama Rey. Oh My God, aku kok jadi gini. Sebenarnya aku senang karena Rey datang. Tapi aku gengsi temui dia. Kami kan lagi marahan. Aghhh… tapi sebentar lagi dia pergi ke Jakarta. aghhhhhhh….

“Suruh aja dia pergi Mbok. Bilang sama dia kalau Ilma gak mau jumpa lagi sama dia” jeritku dari kamar.

Mbok Minah menjalankan semua apa yang aku bilang tadi. Dia menyuruh Rey untuk pulang. Dan Rey menurut saja. Nampak kali gak seriusnya. Kalau dia benar-benar cinta dan ingin bertemu denganku pasti dia ngotot untuk menungguku keluar kamar. Aku kembali lesu. Biarkan aja dia pergi. Hatiku terus menjerit. Gak tahan itu semua, aku langsung keluar dari kamar dan berlari menuju pagar luar rumahku. Aku hanya ingin melihatnya dan berbicara padanya. Saat itu Rey masih membuka pagar rumahku.

“Rey” jeritku sambil berlari dan… aghhhh.. aku terjatuh.

“Ilma” sambung Rey cepat dan membantuku untuk bangkit.

“Aduh” aku meringis kesakitan.

Lututku berdarah. Mbok Minah langsung membawa alat-alat P3K. dan Rey yang mengobati lukaku. Aku diam sesaat.

“Kamu mau pindah ke Jakarta ya Rey?” tanyaku tiba-tiba

“Ssssttttt” Rey mendekatkan telunjuknya kebibirnya sebagai tanda agar aku diam. Dia tak memberiku kesempatan untuk bicara.

“Akhirnya aku bisa buat kamu jatuh cinta!” ujar Rey tersenyum

“Mak…sudnya?”

“Sssstttt” Rey sama sekali tak ingin membiarkanku bicara

“Terimakasih Ilma. Udah saatnya kamu tau tentang perasaanku selama ini. Aku mencintaimu. Aku sayang sama kamu. Aku butuh kamu Ma. Semua yang kulakukan hanya untuk membuatmu bahagia” Jelas Rey

“Aku gak percaya sama kamu Rey! Kalau kamu serius untuk apa kamu mengulur tarik aku? Untuk apa kamu langsung pergi ketika Mbok Minah mennyuruhmu pergi? Kok gak nuggu aku keluar?” tanyaku kesal.

“Hahahaha” Rey tertawa lepas.

“Itu bukti kalau aku mencintaimu dan mendeteksi kalau kamu juga mencintaiku” ujar Rey lagi

Aku diam dan tetap tak mengerti. Hah! dasar Rey. Dia cukup pintar ternyata. Pikirku dalam hati.

“Masih gak ngerti ya? Hahahaha… sebenarnya aku dah tau sejak lama kalau kamu juga cinta sama aku. Kelihatan tuh dari tatapanmu. Tapi aku diam aja. Aku Cuma butuh pembuktian. Makanya aku ulur kamu Ma, biar kamu tarik aku Ma. Jadi dengan begitu aku bisa tau kalau kamu juga cinta sama aku. Nah, kalau aku langsung pergi, itu karena aku ikuti semua perintahmu. Kan kamu sendiri yang bilang ke Mbok Minah untuk menyuruhku pergi, makanya aku langsung pergi. Semua yang kamu mau akan aku turuti Ma, termasuk menyuruhku pergi dari kehidupanmu, asal kamu bahagia Ma” Rey panjang lebar menjelaskan.

Aku gak tau harus ngomong apa lagi ke Rey. Aku hanya bisa diam. Hatiku bahagia banget saat ini. Senang karena Rey ternyata mencintaiku. Tapi aku juga sedih karena sebentar lagi Rey bakal pergi jauh. Kami pasti jarang ketemuan.

“Kamu pindah ke Jakarta?” sambungku

“Kamu maunya aku pergi gak?” Tanya Rey lagi

“Hmmmmm, gak sich” jawabku malu-malu

“Hahaha. Nah gitulah. Akhirnya aku bisa menghapus cuekmu Ma. Hahahaha” tawa Rey membahana.

“Bukan dijawabnya! Yodah, pergi aja sana” sambungku kesal

“Aku gak bakal pergi ke Jakarta Ma”

“Apa?”

“Iya. Kamu yang bilang kamu gak mau aku pergi. Aku gak jadi pergi deh” jelas Rey.

###

Akhirnya Rey tahu tentang perasaanku selama ini. Ada rasa lega memang tapi ada rasa malu juga. Nyesel juga ada. Hahaha.. nyesel karena udah bakar buku diaryku. Tapi tenang, semuanya tentang Rey gak cuma aku tulis di buku diaryku tapi juga aku tulis di cerpenku. Lebih tepatnya buka cerpen tapi novel tentang aku dan dia. Semuaya akan aku abadikan. Nanti ketika waktu sudah bukan milikku lagi, novel ini akan aku persembahkan untuknya. Rey Buat Ilma.  


Hari yang hampir kulupa

Tepat pada tanggal 22 Nopember ini status kami berubah. Yang semula pacaran menjadi lajang. Mungkin kalau waktu itu aku mencantumkan status asliku d facebook, teman-teman fbku bakalan ngomen statusku yang terakhir, single. Hari ini adalah hari yang cukup bersejarah. Bagiku, ini adalah kado ultah special dari orang tersayang selama hidupku. Hahahaha, cukup unik bukan. Di saat terluka seperti ini aku masih bisa tertawa dan menganggap ini biasa-biasa aja. Hey! Siapa bilang ini biasa-biasa aja? Ini luar biasa sobat!. Seperti biasa aku kembali mengambil secarik kertas dan menuangkan segala isi hatiku di kertas itu. Setelah puas aku menaruh kertas itu di dalam sebuah kotak yang terbungkus kertas kado, seperti celengan saja kotak itu. Kemudian menyimpan kotak itu di belakang baju yang sudah terlipat rapi di lemariku. Aku memang sengaja tidak menulisnya di buku diaryku. Itu karena aku tak ingin mengotori buku diaryku dengan kisah-kisah kegalauan hati. Hahahaha, galau? Kata yang harus aku musnahkan dalam hidup ini.

###

21 Nopember 2009, Sabtu

Akhirnya sekolah kami mengutus aku dan teman-temanku kelas 2 SMU lainnya untuk mewakilkan sekolah dalam acara perlombaan bahasa Inggris di USU. Acara perlombaan itu diadakan pada hari Sabtu dan Minggu, 21-22 Nopember 2009 di gedung fakultas bahasa dan sastra USU. Pagi-pagi sekali kami sudah sampai di sekolah dan berangkat bersama-sama ke USU. Waktu itu, Reza, yang berstatus kekasihku juga ikut kesana. Entah mengapa belakangan ini ia berbeda. Kami jadi jarang teguran. Mungkin waktu itu dia sedang sibuk dengan kegiatan sepak bolanya. Maklum, dia adalah salah satu personil sepak bola di sekolahku, dan pada waktu itu aku dengar-dengar akan ada pertandingan sepak bola. Jadi wajar saja, sikap dia seperti itu. Mungkin ia mau fokus dulu.

“Mah, ada yang mau aku sampaikan” sapa Aldo ketika aku sedang mengantri di toilet umum wanita.

“Yodah, bilang aja” jawabku apa adanya. Waktu itu aku masih belum bisa menduga-duga apa yang akan dibilang Aldo.

“Gak enak ngomong disini. Ini dari Reza!”

“Entar aja ya” aku langsung meninggalkan Aldo dan mulai masuk ke toilet.

Sebenarnya ada apa ya dengan Reza sampai-sampai Aldo ingin memberitahu sesuatu tentangnya. Apa mungkin Reza mau ngasi aku kejutan melalui Aldo? Seminggu yang lalu kan ultahku. Dia aja belum ngucapin ‘met ultah’ sama aku.

Sehabis perlombaan scrabble tadi, aku tak berjumpa dengan Reza. Kata Eki, ia pergi mencari kaos bola dan bola kaki. Entahlah. Aku jadi kepikiran tentang apa yang akan disampaikan Aldo tadi. Tapi kuurungkan niatku untuk langsung mencari Aldo dan menanyakannya. Aku takut menampakkan perasaan ini. Nanti orang lain pikir aku sangat mencintai Reza.

Aku tiba di rumah hampir jam tujuh malam. Aku langsung bergegas solat magrib. Setelah itu aku membereskan dapur dan menata ruangan. Biasanya aku melakukan itu semua ketika sore hari. Untuk hari ini, agak sedikit molor waktunya. Malam hampir larut, aku semakin tak bisa tidur. Aku jadi menghayal kalau seandainya apa yang disampaikan Aldo nanti adalah kejutan ultahku, aku pasti salah satu wanita yang paling bahagia nantinya. Semoga saja dugaanku ini benar. Aamiin…

Mataku masih saja belum terlelap. Aku kepikiran Reza. Sudah dua minggu lebih kami tak pernah smsan. Aku tahu bagaimana Reza. Dia bukan tipe lelaki yang suka kencan lewat dunia maya. Tapi apa salahnya kalau aku sms dia malam ini. Aku rasa dia belum tidur.

“Za, kapan tanding bolanya?” satu sms mendarat tertuju ke nomor Reza.

Satu menit. Dua menit. Tiga menit…. 30 menit berlalu tanpa balasan sms dari Reza. Aku menghela nafas. Mungkin dia sudah tidur, pikirku.

###

Hari ini adalah hari terakhir perlombaan. Sama seperti kemarin, kami tetap harus ke USU. Masih ada lomba speech dan grammar disana. Walaupun perlombaanku sudah selesai kemarin, aku juga harus tetap ke USU, menjadi supporter terhandal pastinya. Hari ini agak mendung. Matahari mengintip di balik awan-awan tebal di langit. Pagi yang cukup indah. Kuharap seindah hatiku nantinya.

Sesampai disana, aku mencari-cari Reza dan ingin bertanya langsung padanya. Namun, ia tak kutemukan. Lagi-lagi temannya bilang kalau dia sibuk dan gak bisa datang. Yah, aku maklumi dia. Terkadang aku sedih sendiri. Punya kekasih tetapi seperti tak punya. Pernah terlintas di benakku untuk putus, tapi kurungkan niatku. Aku masih sayang sama Reza. Aku sempat menolak cinta teman abangku waktu itu dengan alasan aku sangat mencintai Reza, padahal teman abangku itu sangat mencintaiku. Hah? lalu Reza?  Apa dia sangat mencintaiku? Mungkin iya, mungkin juga tidak! Aghh, tak bisa ditebak. Yang aku mengerti sekarang cinta adalah cuek. Cuek berarti cinta.

Sehabis makan siang di USU, Aldo datang menemuiku dan mengajakku mengobrol di sekitaran taman kampus USU. Aku mengangguk sebagai tanda setuju dan langsung ke tempat tujuan. Aldo menanyai keadaanku belakangan ini. Dia juga ngucapin ‘met ultah’ sama aku. Sesampainya di taman, Aldo duduk di depanku. Inilah detik yang cukup menegangkan dalam hidupku. Detik-detik yang menghapus segala rasa cinta terhadap Reza. Cinta terhapus dan tergantikan dengan kebencian. Bukan kebencian tetapi kekecewaan. Aku tak membenci Reza.

“Seberapa sich besar cinta kamu ke Reza, Mah?” Aldo mengawali pembicaraan ini dengan pertanyaan yang cukup menghujam hatiku.

Awalnya aku tak tahu apa maksud pertanyaan Aldo tadi. Aku heran aja untuk apa dia bertanya tentang rasa itu? dalam situasi seperti ini aku masih memikirkan harga diri.

“Emangnya kenapa? Buat apa kamu tau?” aku kembali bertanya. Sampai kapanpun tak ada orang yang berhak tahu kalau aku sangat mencintai Reza. Siapapun itu. Cinta itu letaknya di hati, bukan untuk dipublikasikan. Cukup aku dan Tuhan yang tahu. Aku menatap mata Aldo sinis. Dia malah tersenyum.

“Bilang aja kenapa Mah! Entah berapa persen kek, mungkin 99% atau 80%. Sekitaran gitu kan?” Aldo terus memaksaku. Tapi tetap, aku istiqomah untuk tidak mengatakannya.

Aku bangkit dari tempat dudukku. Suasana semakin memanas dan menegangkan.

“Ada apa sich sebenarnya? Langsung ajalah ke isi pembicaraan. Apa yang mau dibilang Reza?” tegasku seketika tak tahan dengan pertanyaan konyol Aldo.

Aldo tertawa sekarang. dan aku hanya diam menatapnya jengkel. Mengikuti posisiku, Aldo juga berdiri.

“Gini Mah, kata Reza ‘Udah Ya’” sambung aldo tenang.

Aku masih heran dengan kalimat Aldo tadi. Apa? Udah? Apa sich maksud anak ini? Udahan apa? Aku mengerutkan dahi sebagai tanda tak mengerti.

“Jalani masing-masing” lanjut Aldo lagi.

Aku terdiam. Sebisa mungkin aku mencerna semua kata-kata Aldo barusan. Kutahan segala perasaan ini. Aku mengerti mengapa Reza agak berubah. Ini cara dia untuk mengakhiri hubungan kami. Aku tersenyum kecut memandangi wajah Aldo yang tampak mengiba melihatku. Aku tegar. Untuk kali ini, harga diri jauh lebih penting dari pada sakit hati.

“Alasannya?” suaraku nyaris tak terdengar akibat menahan bom yang meledak di hati.

“Aku juga gak tau Mah. Gak jelas” sambung Aldo lagi

“Sabar ya Mah! Kamu sakit hati Mah? Aku juga sebenarnya gak suka liat cara dia putus sama kamu Mah! Kalau kamu sakit hati, bilang aja Mah, biar aku kasi pelajaran dia” Aldo mencoba menjadi sok pahlawan dalam situasi putus memutus ini. Dasar Aldo. Bego’ amat jadi orang. Mana ada cewek yang gak sakit hati diputusin tanpa ada alasan yang jelas. Walaupun aku tampak tegar tapi tetap saja hatiku rapuh. Geplek! Aku membatin.

Seulas senyum masih tersungging di pipi manisku.

“Ngapain pulak aku sakit hati. Biasa aja kali. Aku terima kok. Lagian ada pepatah yang bilang ‘mati satu, tumbuh seribu’, ya kan?” ujarku sambil tertawa terbahak-bahak. Aku coba menghibur diri.

“Aneh dirimu. Sok tegar. Padahal sakit hati kan. Hahahaha.. ?” Aldo membalas tawaku. Kami saling tersenyum.

###

Akhirnya hari pemutusan berlangsung juga. Aku gak pernah menyangka sebelumnya. Hubungan selama ini yang terlihat langgeng dan harmonis, justru cepat juga berakhir. Ditambah lagi gak ada alasan yang jelas. Takdir berkata lain. Bagaimanapun juga aku harus terima. Kini aku mengerti cinta bukanlah segalanya. Cinta gak menjadi jaminan untuk tetap bersama. Terkadang tanda cinta adalah putus dari orang lain. Cinta berarti putus. Analogi yang salah. Itulah yang sedang aku alami. Tak semanis yang kubayangkan. Namun, aku juga wajib menyadari bahwa keikhlasan jauh lebih indah dari pada cinta. Aku harus ikhlas. Reza masih menyimpan berjuta alasan mengapa ia mengakhiri hubungan ini. Kubiarkan ia menyimpan semua sampai takdir yang angkat bicara atas situasi ini. Diary itu masih menyimpan sejuta kenangan antara aku dan Reza. Kubuka lembar demi lembar diary itu. Kubaca halaman pertama. Halaman yang menceritakan betapa manisnya jatuh cinta. Aku tersenyum mencoba menahan tetesan air mata. Namun, ia tetap jatuh membasahi pipi ini.

 

 Malaikat Penolong Hatiku



Awan belum nampak di langit. Langit-langit hanya dikerumuni beberapa bintang dan satu bulan sabit. Tampak indah namun cahaya mereka tak mampu menerangi malam ini. Aku termenung sejenak setelah membaca smsnya berulang-ulang. Kusandarkan kepalaku di sandaran kursi meja belajarku. Ini adalah malam yang sangat sedih menurutku. Bukan karena cahaya bintang dan bulan tak menembus celah-celah kamarku tapi karena sepenggal sms yang berisi “jalanin hidup masing-masing” dari orang yang ada dihatiku. Entah kenapa dia bisa mengambil keputusan itu tanpa mengatakan sebab dan kesalahanku. Rasanya tak ada air mata lagi yag bisa aku teteskan. Sudah habis kurasa stok air mata ini. Aku berusaha diam dan tetap tenang atas semua kejadian ini. Kubuka lembaran-lembaran buku diaryku yang semua kisah hanya tentang dia. Dengan segala kebesaran hati, kukoyak tiap lembaran yag berisi namanya dan kisah kami. Aku menyesal telah mengukir namanya di buku ini sehingga dengan teganya aku mengoyak tiap-tiap lembaran tentangnya. Sakit sekali. Saking sakitnya, aku tak mampu memarah-marahinya lagi. Memang aku tak berhak memarahinya. Aku tak punya kekuatan, mungkin hanya diam dan tatapan mata  penuh kemarahan yang dapat aku berikan untuknya. Esok pagi di kantor aku akan memberikan itu semua untuknya.

###

“Kara, Rizal sudah pindah kerja. Tadi pagi surat pengunduran dirinya datang” Sapa Ari tiba-tiba ketika aku masih asyik menulis lanjutan naskah skenarioku.

“Owh” Jawabku sangat singkat sekali.

Lagi-lagi aku berusaha untuk menutupi semua kejadian tadi malam. Aku tak menghiraukan apa yang dibilang Ari tadi. Bukan saatnya untuk memikirkan hubungan aku dan Rizal. Aku harus professional di kantor. Aku masih asyik dengan tuts keyboard kantorku. Sejenak kemudian perhatianku langsung tertuju kepada apa yang dibilang Ari selanjutnya.

“Aku tahu tadi malam kalian putuskan? Sudahlah Kara, gak usah nutupin semuanya” Ari mengagetkanku dengan kata-katanya.

Aku langsung berhenti mengetik. Mataku lekat-lekat memandangi Ari yang tersenyum penuh makna di hadapanku. Kemudian aku melanjutkan ketikanku tanpa memperdulikannya.

“Sudahlah Kara, aku tahu kamu sedih banget kan?” Lagi-lagi Ari menarik perhatianku.

“Ri, aku lagi sibuk. Jangan ganggu aku” Bantahku seketika. Ari membalikkan badannya dan berjalan menjauhiku. Ari adalah teman baik Rizal. Rizal pasti sudah cerita dengan Ari tentang hubunga kami. Tadi Ari bilang kalau rizal mengundurkan diri. Segudang pertanyaan kini muncul di benakku. Mengapa dia mengundurkan diri? Apa dia sudah dapat kerjaan lain? Atau dia dikontrak dengan perusahaan lain? Aghhh… atau apa ini ada hubungannya dengan hubungan kami? Tidak mungkin! Aku tahu Rizal. Dia bukan tipe lelaki seperti itu. Lantas mengapa dia mengundurkan diri? Aghhhh…..

###

Siang begini Ari mengajakku makan siang di kafe dekat lokasi kerja kami. Aku terima saja tawarannya. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan membiarkannya berbicara tentang apa saja yang dia suka. Sesekali juga dia membuat lelucon-lelucon konyol di depanku dan aku tertawa seadanya. Di kafe, aku memesan menu makan siang special disini. Hari ini, Ari juga mengikuti menu yang kupesan.

“Kamu dari tadi kenapa diam aja sich Kar” Cetus Ari mencairkan suasana diantara kami.

“Gak apa-apa. Males aja ngomong. Gak ada bahasan yang menarik” jawabku masih sangat sederhana. Aku tahu, dia pasti kebingungan dengan karakterku yang sekarang ini.

“Sudahlah Kara. Jangan dipendam rasa sakit hatimu. Nanti bahaya loh!” Ujarnya agak sedikit tersenyum.

Aku tahu saat ini dia pasti sedang memaksaku untuk berbicara. Mengungkapkan semua kegelisahanku. Tapi maaf Ri, bukannya aku tak mau bercerita tapi aku hanya butuh waktu untuk tidak mengingatnya dan kau tahu, berbicara tentangnya itu sama saja berusaha untuk tidak melupakannya. Aku membatin.

“Cerita kenapa sich Kara. Jangan diam aja. Aku gak masalah kalau kamu gak mau berbagi kesenanganmu sama aku. Tapi justru masalah kalau kamu gak mau berbagi kesedihan sama aku (maaf ya, kata-katamu aku pakek disini. Semoga kamu baca tulisanku walau gak aku tag)”Ari terus memaksaku.

Seketika itu pula aku meneteskan air mata yang sedari tadi malam aku tahan. Aku tak mampu berkata-kata saat itu. Yang aku bisa lakukan saat ini hanya menangis, menangis, dan menangis. Terlalu sakit jika harus diungkapkan dengan kata-kata. Sakit sekali. Lebih sakit dari tersayat pisau tajam. Ari hanya diam menatap tetesan air mata yang dengan tak ada malunya keluar begitu saja.

“Kara” Sapa Ari lagi.

“Kara, kamu itu wanita baik-baik. Yakinlah bahwa kelak Tuhan akan memberikan laki-laki yang baik untukmu. Aku tahu perasaanmu saat ini. Tapi ya sudahlah. Hadapi kenyataan ini” Nasehat singkat dari Ari memberhentikan air mataku. Dan aku mulai berbicara.

“Ri, aku bukan nagis karena putus dari dia. Aku Cuma bingung aja, kenapa gak ada alasan dia mutusin aku. Itu aja Ri. Apa salahku? Kok bisa-bisanya dia ngambil keputusan kayak gitu. Pas aku tanyak kenapa dia mutusin aku, dia gak balas smsku Ri. Dan sekarang dia pergi tanpa meninggalkan jejak. Gak gentle tuh namanya” Cetusku berapi-api.

“Seandainya nanti dia balik lagi dalam kehidupanmu, apa kamu masih menerima dia?” Ari melontarkann pertanyaan aneh.

“Gak! Aku dah sakit hati sama dia. Sampai kapan pun aku gak penah balikan sama dia lagi!” Ujarku penuh semangat.

Ya Tuhan, setan apa yang merasukiku hingga aku berani mengatakan itu. Sebenarnya aku gak bisa melakukan itu. Masih ada celah untuknya di hatiku. Tapi sakit hati dan logikaku terus memberontak untuk menerimanya lagi kelak. Kuturuti saja semuanya.

###

Beberapa bulan kemudian…

Tadi pagi Rizal menelponku setelah sekian lama tak ada kabar darinya. Nanti malam dia mengajakku untuk makan malam dan membicarakan sesuatu. Aku rasa nanti malam dia mau minta maaf dan ingin balikan lagi sama aku. Tapi maaf ya Rizal, aku tak akan pernah membiarkan CLBK ada di kisah cinta antara aku dan kamu. Aku menerima telponnya, bukan berarti aku menyukainya.

###

“Kara, maafkan aku tentang kejadian bebrapa bulan yang lalu. Maafkan aku” Ujar Rizal tulus.

“Iya. Sudah aku maafin kok” Jawabku berusaha menahan segala kemarahanku.

“Aku pengen kita kayak dulu lagi”.

Tebakanku benar. Tapi tetap, komitmen itu harus aku jaga. Aku gak bakal pernah memberi kesempatan untukmu lagi. orang yang sudah menghancurkan hatiku. Aku takkan pernah bersamamu lagi walau kau tahu aku sangat menyayangimu. Lebih baik aku sakit dengan caraku sendiri daripada sakit denga cara yang kau buat. Maafkan aku. Batinku menjerit. Aku tetap berusaha ramah dengannya.

“Maaf ya Zal, aku gak bisa. Ini ada surat undangan untukmu. Aku pamit dulu ya” Aku bergegas pergi meninggalkanya.

Surat undangan tadi yang kuberikan, itu adalah surat undangan pernikahan antara aku dan Ari. Walaupun aku tak mencintainya, aku tetap ingin menikah dengannya. Cinta akan hadir ketika seseorang sudah hidup bersama dengan orang lain. Aku yakin, Ari sangat mencintaiku. Terima kasih Ari, kamu telah memberi kebahagiaan untukku. Memberi senyum dan membuatku tersenyum. Malaikat Penolong Hatiku….








Malam mencekam. Aku berlari sekencang-kencangnya. Entah kemana arah langkah kaki ini. Aku kehilangan arah. Betisku letih. Rasanya sudah beribu kilo meter langkah yang sudah kutempuh. Nafasku sesak. Jatungku berdegup kencang. Dia terus mengejarku. Mencoba menangkapku. Ya pria itu. Ia memakai baju dan celana hitam. Pisau silet tajam kini berada di genggaman tangan kanannya. Aku benar-benar takut. Sesekali kulihat wajahnya. Ia seperti Randi, lelaki yang beberapa bulan lalu kutolak cintanya. Tapi apa benar itu dia? Agh, mana mungkin. Dia orang baik. Tapi siapapun dia, aku harus tetap menyelamatkan diri.

Aku sangat keletihan tapi pria itu masih tetap mengejarku. Sama sekali tak ada rasa lelah di wajahnya. Aku mulai panik. Aku berlari menuju arah kiri. Aku mencoba masuk ke gang yang tampak agak lebar jalannya. Aku berlari dan terus berlari. Ada beberapa rumah di gang ini. Ketika sampai di ujung gang, harapanku pupus. Jalan itu buntu. Aku semakin ketakutan. Saat ini, hanya pertolongan tuhan yang kuharapkan.

Pria itu semakin mendekat. Wajahnya semakin kelihatan. Ternyata benar, dia Randi. Aku menyudut ke dinding gang buntu itu dan menjerit minta tolong. Namun sayang, tak ada satu orang pun yang menolongku. Tak ada satu pun manusia selain aku dan Randi di sini. Aku terduduk. Mata Randi tajam menatapku. Ia mendekat. Jaraknya denganku saat ini hanya beberapa senti meter. Ia mengangkat tangan kanannya dan memegang pisau dengan mantap. Ia mencoba menusuk pisau itu ke arah perutku.
“Jangan…” jeritku histeris
Pria itu menancapkan pisaunya, dan…“Agh….” keringatku mengucur deras. Aku terbangun. Ternyata hanya mimpi. Gumamku pelan. Kuambil segelas air di atas meja samping tempat tidurku. Kuminum air itu beberapa tegukan. Kumenghela nafas panjang. Sesekali kulihat berbagai sudut kamar. Hanya ada aku di sini. Kulihat jam dinding di atas meja belajarku. Masih pukul tiga pagi ternyata. Aku kembali memikirkan mimpi tadi. Mimpi terburuk dalam hidupku. Apa itu hanya mimpi belaka? Bagaimana kalau itu terjadi dalam dunia nyata? Randi mencoba membunuhku? Huft. Itu hanya bunga tidur. Lagian mana mungkin Randi berniat membunuhku. Dia kan orang baik. Memang beberapa minggu lalu, dia aku tolak. Dia juga menerima keputusanku dengan besar hati kok. Ini hanya mimpi. Untuk apa dipikirkan. Aku berbaring kembali. Kutarik selimutku. Kuberharap semoga mimpi itu hanya sekedar mimpi dan tak akan terjadi.

***
“Tadi malam aku mimpi buruk, Rey!” ucapku membuka  percakapan bersama Rey di kantin kampusku.
“Mimpi buruk apa?” Tanya Rey balik.
“Randi mencoba membunuhku” aku mulai bercerita.
Rey mendengar dengan khidmat apa yang kuceritakan tentang mimpi itu.
“Sudahlah. Itu cuma mimpi” sambung Rey santai
“Tapi Rey, kalau kenyataan gimana?” ujarku tiba-tiba.

Pandanganku tentang Randi jadi negatif. Mungkin saja Randi bisa melakukan itu. Toh, banyakkan orang-orang yang mengambil langkah yang salah ketika cintanya ditolak. Tanteku aja pernah disantet jadi orang gila karena ia menolak cinta temannya waktu SMA. “Cinta ditolak, dukun bertindak” kurasa itu ungkapan yang lagi trend di kalangan remaja dan orang dewasa saat ini.
“Macem tak punya pahlawan aja kamu Ma, aku kan selalu ada buat kamu” Rey mulai menggombal dan menggodaku.
Ia tersenyum. Matanya nanar menatapku. Aku berharap itu bukan hanya sekedar gombal. Sejujurnya aku menyayangi Rey. Bahkan sangat menyayanginya. Tapi sayang, ia tak pernah tahu. Yang ia tahu, aku hanya mengidolakan Mas Raditya Dika, penulis buku Manusia Setengah Salmon. Ketika dia tahu kalau aku suka baca buku Mas Radit, dia sering kali memberikan buku Mas Radit setiap kali terbit untukku. Dia juga suka mendownload video Stand-up comedy Mas Radit. Sungguh baiklah pokoknya. Tapi kami hanya bersahabat. Rey gak pernah bilang cinta sama aku. Paling banter dia pernah bilang “I need u”, itu pun hanya lewat chattingan. Aku masih ingat, waktu itu dia sempat liburan ke Jakarta untuk mengisi liburan kuliah. Kami jadi gak ketemuan selama satu minggu. Nah, saat kami online di hari Jumat, di akhir offline, dia bilang “I need u”. Aku balas saja “Me too”. Aku berharap itu ucapan tertulus yang pernah ia lontarkan pada seorang cewek yang sangat berarti dalam hidupnya.
“Kalau kayak gini ceritanya, sebulan ini aku antar jemput kamulah ya” sambung Rey lagi.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk
“Iya” ucapku pelan menerima tawarannya.

***

Hari sudah larut malam. Sejak mimpi kemarin, aku jadi takut untuk tidur. Aku gak mau mimpi buruk lagi. Sebenarnya mataku sudah mulai mengantuk. Tapi entah mengapa aku gak bisa tidur. Rasanya aku jadi paranoid sendiri. Serasa ada seseorang yang mengejarku. Sudah satu bulan ini aku gak pernah ketemu sama Randi. Aku juga gak pernah sms ataupun nelpon dia. Nomornya memang masih ada, tapi ada rasa gak enak aja kalau aku sms dia pertama kali. Aku membuka laptop dan mulai mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Di tengah-tengah asyiknya mengerjakan tugas, tiba-tiba saja hapeku bergetar, pertanda ada satu sms yang masuk. Dengan malas, aku membuka sms itu.
“aku menunggumu di pintu surga”

Aku membaca kalimat itu dengan perlahan. Aku benar-benar terkejut. Nomor pengirim itu sama sekali tak kukenal. Kalimatnya sungguh membuatku takut. Apa maksudnya? Dia menungguku di pintu surga? Agh… dengan kecepatan mengetik dari biasanya, pesan balasan “ siapa ini?” dariku langsung terkirim. Namun, sms itu tak sampai, masih menunggu. Dan beberapa menit kemudian aku dapat laporan dari operator kalau sms yang aku kirim gagal. Lantas, aku langsung menelpon nomor tadi. Ternyata nomornya sudah tidak aktif.

Aku menghela nafas. Sudahlah, aku hanya menganggap itu nomor ke sasar saja. Buat apa dipikirin sesuatu yang gak penting. Jam sudah menunjukkan jam satu pagi. Kumatikan laptop dan langsung beranjak dari kursi belajarku. Kumelangkah menuju tempat tidur dan langsung kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Aku sangat keletihan hari ini. Kumencoba memejamkan mata, tapi tetap aku tak bisa tidur. Lagi-lagi hapeku bergetar. Sms dari nomor yang tak ku kenal masuk ke hapeku. Tapi bukan nomor yang tadi. Nomornya beda lagi.
“Aku datang menjemputmu sebentar lagi”
Aku benar-benar takut. Sungguh. Kuurungkan niatku untuk membalas sms itu. Hapeku langsung kunonaktifkan. Kutarik selimutku hingga menutupi kepala. Kutenangkan jantungku yang semakin tak beraturan iramanya. Beberapa menit kemudian, aku tertidur lelap.

***

“Kamu tahu di mana Randi, Sar?” aku membuka pembicaraan dengan Sari, teman sebangkuku ketika dosen mata kuliah administrasi pendidikan tak kunjung datang.
“Gak tahu aku Ma, udah dua minggu ini dia gak masuk kuliah. Tadi pagi temannya nanyain dia sama aku”
“Emangnya kenapa kamu nanyain dia?” sambung Sari lagi
“Gak apa-apa kok. Cuma heran aja. Dah lama aku gak komunikasi sama dia” aku menutup pembicaraan itu. Sebenarnya aku ingin bercerita tentang ketakutanku selama ini, tapi aku lagi gak mood cerita sama Sari. Nanti dia nyalahin aku. Aku tahu Sari itu seperti apa. Dia teman baiknya Randi. Dulu Sari pernah menyukai Randi dan bilang cinta ke dia. Tapi Randi menolak.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” dua mahasiswa masuk ke kelas kami sambil membawa kotak amal.
“Waalaikumsalam” jawab kami serentak.
“Innalillahi wainna ilai rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah sahabat kita yang bernama Randi Pangestu, mahasiswa jurusan teknik sipil tiga hari yang lalu, tepatnya hari Selasa kemarin. Jadi untuk meringankan beban, kami mohon sumbangan saudara seikhlas hati” ujar mahasiswa berbaju kemeja coklat dengan lancarnya tanpa jeda.

Tubuhku gemetar. Aku kaku seketika. Jantung melemah. Serasa ada sesuatu yang masuk di dada ini. Aku jadi lemas.
“Hah? Randi  meninggal! Gak, gak mungkin” jerit Sari histeris.
Sari pingsan. Kupegang telapak tangan Sari. Tangannya sungguh dingin. Wajahnya pucat. Aku dan  teman-temanku yang lain membawanya ke sekretariat PMI. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam.
“Mas, mas kan orang yang tadi datang ke kelas kami kan?” kutegur mahasiswa yag memakai baju kemeja coklat tadi. Dia salah satu anggota PMI.
“Iya, kenapa Mbak?”
“Kalau saya boleh tahu, Randi meninggal karena apa ya?”
Pria berbaju coklat tadi terdiam sejenak. Agaknya ia menyimpan sesuatu dariku.
“Kematiannya dirahasiakan Mbak!” ungkap pria itu dengan santai
“Maksudnya?”
“Rahasia Mbak! Tidak ada yang boleh tahu”
“Tapi Mas tahu kan mengapa dia meninggal?” tanyaku penasaran.
“He em. Sudahlah Mbak, saya tidak boleh membongkar aib keluarga Almarhum Randi” ucap pria itu sembari pergi meninggalkanku.

Aku penasaran. Apa penyebab Randi meninggal? Terus mengapa kematiannya dirahasiakan? Aghh. Siang ini aku berencana untuk datang ke rumah Randi dan menanyai langsung apa penyebab kematiannya pada keluarganya. Sekalian aku mau ziarah ke makam Randi. Aku juga membujuk Rey untuk menemaniku ke sana. Dan Rey mau. Tepat jam tiga siang kami langsung menuju rumah Randi. Sepanjang perjalanan ke sana, aku sempat bercerita tentang nomor kesasar tadi malam. Kulihat Rey agak cemas.
“Ma, kalau kemana-mana, bilang sama aku ya. Biar aku temanin” ungkap Rey yang sedang mengendarai motor.
Rey mengendarai motor sangat hati-hati. Itu karena ia memboncengku. Aku pernah menjerit histeris ketika Rey hampir menabrak tukang somay di depannya. Waktu itu Rey mengantarkanku ke rumah sakit. Sekarang setiap kali aku dibonceng Rey, aku selalu mengingatkannya untuk hati-hati.
“Iya Rey”

***

Selama satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga di rumah Randi. Rumahnya kelihatan sepi. Kami mencoba masuk dan mengetuk pintu rumahnya.seorang wanita separuh baya memakai jilbab hitam membuka pintu dan menyuruh kami masuk. Ia juga mempersilakan kami duduk. Ternyata dia adalah ibunya Randi. Beberapa menit kemudian, Kami langsung menyampaikan maksud kedatangan kami. Sebelumnya kami juga memperkenalkan diri.

Ibu Randi akhirnya membuka rahasia kematian Randi. Randi bunuh diri dengan mengambil pisau lipat dan menggoreskannya tepat di nadinya. Hanya itu yang ibu Randi ceritakan. Alasan mengapa Randi bunuh diri, beliau tidak tahu. Randi ditemukan meninggal dan berlumuran darah keesokan paginya. Aku sedih sekaligus penasaran mendengar cerita beliau. Aku langsung mengaitkan semua kejadian mimpi itu dan sms nyasar kemarin. Apa benar itu sms dari Randi? Tapi kan Randi sudah meninggal? Lalu itu siapa? Arwah Randi? Aku tak percaya.

Setelah mendapat informasi yang jelas, kami akhirnya pulang. Rey mengantarkanku sampai di depan kos. Sepulangnya Rey, aku gak keluar kamar. Aku takut untuk keluar. Takut kalau ada orang yang tiba-tiba datang membunuhku, seperti di mimpiku dua hari yang lalu. Sehabis Isya, aku langsung tidur.
Hapeku berdering dan membangunkanku. Tanpa melihat nomor siapa yang menelponku, aku langsung mengangkat telpon itu.
“Halo” ujarku menyapa orang dari seberang sana.
“Hai sayang. Kamu sudah siapkan menemaniku di surga ini” sapa orang yang menelponku. Suara laki-laki.
Aku sadar sepenuhnya dan mulai bangkit dari posisi terbaring.
“Siapa kamu?” bentakku
“Malam ini adalah malam terakhirmu sayang” ucapnya penuh keromantisan.
“Hey. Kalau berani datangi aku. Bukan kayak gini caranya” aku menantangnya.
“Sebentar lagi aku akan datang” sambung pria itu.

Tut…tut…tut… tanpa mengucap salam, ia langsung menutup telponnya.
Aku mendadak ketakutan. Apa? Malam ini? agh, apa mungkin? Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan mengecek semua pintu. Pintu depan sudah tertutup, jendela juga sudah terkunci. Di kos ini, hanya ada aku sendiri. Nina, teman satu kosku, mendadak pulang kampung tiga hari yang lalu. Aku takut sendirian. Aku menelpon Reyi dan menceritakan semua kejadian ini. Reyi berinisiatif untuk datang ke kosku. Awalnya aku mencegah Reyi tapi karena Reyi memaksa akhirnya aku biarkan saja dia. Dia juga bilang akan tidur di teras kosku. Bukan di dalam kos.

Aku mulai masuk ke dalam kamar. Lampu kamarku mati. Padahal tadi aku tidak mematikan lampu. Aku menekan saklar lampu kamar yang ada di sebalik pintu. Tapi tetap tak bisa. Aku rasa lampunya rusak. Mungkin kepanasan gara-gara satu harian aku hidupkan. Tadi ketika pergi kuliah aku lupa mematikan lampu. Keadaan kamar masih samar-samar kelihatan. Aku masih bisa melihat mana tempat tidur dan meja belajar. Aku duduk di atas kasur. Lampu layar hape menerangi kamarku. Kulihat nomor seseorang yang menelponku tadi. Ternyata ia memakai nomor pribadi. Aku yakin, dia bukan Randi. Pasti. Mana mungkin orang yang sudah meninggal bisa datang lagi.

Tiba-tiba saja, aku mendengar ada suara orang sedang berjalan. Kulihat sekelilingku. Ketika aku melihat ke arah kamar mandi, ada seorang pria persis seperti di mimpiku kemarin. Ia sedang berjalan ke arah tempat tidurku. Ia tidak memegang pisau, tapi pistol. Suasana kamar memang gelap tapi aku masih bisa melihat benda yang ia pegang. Aku panik.
“Siapa kamu” jeritku.

Aku masih belum bisa menebak siapa dia. Yang jelas dia bukan Randi. Tapi siapa? Dia mengarahkan pisaunya tepat ke arahku.
“Jangan…” jeritku lagi

Ia mendekat dan terus mendekat. Sedangkan aku tak bisa apa-apa. Aku tak bisa bergerak. Aku nyerah. Aku pasrah.

Pria itu langsung menembakkan peluru pistolnya ke keningku. Kupejamkan mata indah ini. Aku pun tak lupa membaca dua kalimat syahadat. Tapi aneh, kenapa aku tak merasakan sakit? Keningku basah. Apa mungkin ini darah? Aku masih memejamkan mata. Kuusap keningku dan ternyata itu air bukan darah. Aku belum mati. Aku langsung membuka mata. Lampu kamar tiba-tiba menyala.

“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you” seorang pria memakai kaos biru donker dan membawa kue ulang tahun, datang dari pintu kamar menuju ke arahku. Dia Rey. Kamarku dipenuhi teman-teman sekelasku.

“Selamat ulang tahun ya Ilma” Rey duduk di atas tempat tidurku.
Aku masih tak percaya. Aku bingung. Apa arti semua ini? berarti mereka mempermainkan ketakutanku selama ini. Aku kaku. Sama sekali gak ada senyum di wajahku.
“Tega kalian semua. Tega kamu Rey!” bentakku ke semua teman-temanku.

Wajah ceria mereka mendadak berubah. Mereka hening.
“Kalian mempermainkanku. Jahat kalian. kalian tahu. Rasanya aku udah mau mati. Aku takut. Tapi ternyata semua ini rencana kalian. Dasar! Aku benci kalian semua” suaraku menggema.
“Ilma, maafkan kami. Kami hanya ingin membuat surprise kecil-kecilan kok di ultahmu. Kami sama sekali gak bermaksud buat kamu jadi takut kayak gini” ujar Nina yang juga ada di sini. Ia memelukku.

Aku menangis tiada henti di pelukan Nina.
“Ilma. Maafkan aku ya. Sebenarnya ini ideku. Sudahlah. Jangan nangis lagi. Ayo tiup lilinnya” sambung Rey lagi.

Hatiku lapang. Ketakutanku selama ini benar-benar sudah hilang. Kutiup lilin itu dengan perlahan-lahan. Walaupun ketakutanku sudah hilang. Tapi tetap saja aku masih shock. Kutenangkan hatiku sejenak. Semua teman-teman bersorak gembira merayakan hari ulang tahunku malam ini. Ternyata mereka sudah merencanakan semua ini.
“Tapi Rey, apa benar Randi sudah meninggal?” tanyaku sambil mengunyah kue tar.
“Kalau itu memang benar Ma. Yang tadi dibilang ibu Rey memang benar semua”
“Jadi siapa yang iseng-iseng sms aku dan nelpon aku” tanyaku lagi.
“Kalau itu aku, Ilma” sambung Riza, pria yang tadi membawa pistol mainan dan menakutiku tadi.
“Huh. Dasar! Tindakan kalian tidak akan pernah kumaafkan” ketusku

Mereka hanya tertawa menatapku. Ternyata Rey yang merencanakan semua ini. Tapi kok bisa ketepatan ya ceritanya. Sebenarnya Rey gak bermaksud untuk membuat kejutan konyol seperti ini tapi berhubung aku mimpi kemarin, dia langsung terinspirasi dan akhirnya merencakan semua ini. Rey bekerja sama dengan teman sekelasku dan Nina, teman kosku. Nina pura-pura mendadak pulang waktu itu padahal ia hanya menginap beberapa malam di rumah temannya. Dasar Nina. Kerja sama kalian memang patut aku berikan acungan jempol. Terima kasih sobat udah membuat hari ulang tahunku begitu indah walaupun sebelum-sebelumnya aku sungguh ketakutan. O ya, sebenarnya aku lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku membatin.
Tamat…


No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^