Tinggal pilih entri yang kamu suka

Friday, February 24, 2012

Aku dan Takdirku (bag 1)


Setiap orang itu seperti bola-bola biliyard dan takdir seperti stik biliyard yang siap menyodok bola-bola itu. Ada bola yang bertahan lama, dan ada pula yang begitu cepat masuk lubang meja biliyard. Begitu pula dengan pertemuan. Bola hijau terkadang bersenggolan dengan bola putih ketika sudah disodok. Bola hijau diibaratkan adalah A dan bola putih adalah B. Mereka bisa bertemu dalam satu waktu dan tempat. Namun, di waktu selanjutnya, mereka bisa berpisah. Begitulah analogi hidup ini. Ada pertemuan dan ada juga perpisahan. Ada yang dengan cepatnya meninggalkan kita dan ada pula yang berlama-lama hidup di dunia. Tak ada yang tahu tentang takdir seseorang kecuali sang maha pencipta, Allah SWT.
Allah SWT memanglah pembuat scenario paling hebat. Tak ada tandingannya. Aku pernah membaca status seseorang di facebook yang isinya seperti ini “hidup ini seperti piano, ada bagian yang putih dan ada juga bagian yang hitam, namun ketika Tuhan memainkan piano itu, maka akan terdengar indah” begitulah kira-kira status itu. Kemarin aku bertemu dengan sohib lamaku, sebut saja namanya Romeo (nama samaran). Aku benar-benar gak menyangka kami bisa sama lagi, kami bisa berteman lagi. Padahal udah hampir satu tahun lebih kami tak pernah smsan, telpon-telponan, berdiskusi dan lain sebagainyalah. Eh salah, kami pernah smsan tapi hanya sebatas menanyai kabar, ada keperluan mendadak dan hal-hal yang justru tak membuat kami semakin akrab. Aku masih ingat terakhir kalinya kami smsan dan telponan, sekitar akhir bulan Desember 2010 lalu. Sekarang kami dipertemukan lagi, Rasa syukur tak terkiralah buat sang Maha Pencipta Takdir kami. Rasa syukurku juga semakin bertambah ketika aku tahu kalau dia masih seperti yang dulu. Ya, begitulah, kadang kita gak tahu kapan waktu bertemu dan kapan waktu berpisah. Dan kejadian ini tak pernah kusangka-sangka.
Aku masih ingat jelas perjalanan hidupku mulai dari aku berumur lima tahun hingga sampai sekarang ini. Dulu sewaktu SD, aku punya sahabat, namanya Nurul Fitria. Bisa dibilang kami sahabat karib, sangat dekatlah pokoknya. Namun kedekatan kami juga harus terpisahkan oleh takdir. Bulan enam tahun 2004, kami berpisah. Aku memilih masuk SMPN 2 Babalan dan Fitri masuk sekolah MTs Alwashliyah. Bagiku, masa SMP adalah masa yang cukup indah. Aku bebas berteman dengan anak seusiaku. Tepat kelas 1-4, aku sebangku dengan Nurhidayah. Dia juga termasuk sohib baikku di SMP. Disini jualah aku dekat dengan seorang sahabatku, namanya Satria (samaran). Nama yang cukup fenomenal dalam hidupku. Aku pernah menyukainya selama 4 tahun sejak kelas satu SMP sampai aku duduk di bangku SMA kelas satu. Cukup lama bukan? Maklumlah, masih lugu, cinta monyet gitu loh. Aku masih ingat banget ketika saat-saat perpisahan diantara kami. Detik-detik yang sejujurnya membuatku muak. Aku benci perpisahan! Waktu itu tepat hari Rabu di bulan Mei 2007, aku lupa tanggalnya tapi yang pasti itu adalah hari terakhirku melihatnya, menatap matanya, mendengar suaranya dan yang paling penting, canda dan tawanya. Ketika itu, aku main game Super Mario di kelasku. Lalu Satria datang dari belakang dan menggangguku main. Dia berusaha menekan jari telunjukku yang tengah asyik bermain keyboard. Awalnya aku gak tahu siapa orang iseng itu. Aku menoleh ke belakang. Ternyata Satria. Aku jadi mendadak gugup dan Super Mario yang kumainkan jadi kalah terus. Akhirnya Satria mengklaim aku gak pandai main game. Tapi aku biarkan saja dia. Saat-saat aku merasa salah tingkah, Satria membuka percakapan terakhir itu.
“Rul, nanti masuk mana abis tamat SMP ini?” Tanya Satria ketika aku lagi sibuk main game dan menutupi kegugupanku.
“Gak tau” jawabku singkat sambil menatap Satria dari LCD komputerku yang kelihatan samar-samar.
“Tapi kayaknya kamu bakal masuk SMA N 1 kan?” tebak Satria lagi. SMA N 1 adalah sekolah favorit di Berandan. Sejujurnya aku mau masuk ke sana, namun lagi-lagi takdir berkata lain. Aku lulus masuk Pesantren Darularafah dalam kategori siswa unggulan dan akan mendapat beasiswa selama tiga tahun.
Oke kembali lagi ke Satria
Kuhentikan permainan itu sejenak. Lalu aku fokus menatap Satria dari LCD Komputer. Satria tepat duduk di belakangku waktu itu.
“Mungkin kali ya. Kamu mau masuk mana Sat?” sambungku bertanya.
Wajah Satria mendadak agak sedikit sedih. Selama tiga tahun aku tak pernah menatap wajah sendunya. Satria adalah orang yang kuat, selalu bersemangat, suka bercanda dan pastinya membuatku tenang ketika aku bersamanya. Dari situlah aku tahu kalau cinta yang sebenarnya adalah ketika kita merasakan kenyamanan bersama orang itu. Seburuk apapun ia, aku tetap menyukainya.
“Aku ya baliklah ke Langsa. Terus sekolah di sana” ujar Satria pelan.
Aku terdiam dan masih terus berpikir. Apa ini detik terakhirku bertemu dengannya? Dan ternyata jawabannya “iya”. Sebenarnya aku juga sedih ketika beberapa minggu kemudian aku dinyatakan lulus masuk pesantren itu dan lebih tepatnya meninggalkan Berandan. Tempat yang menjadi harapan dimana aku bakal ketemu Satria lagi seusai tamat SMP. Setiap kali aku liburan semester balik ke rumah, aku selalu meluangkan waktu untuk sekedar datang ke Gotong Royong, tempat dimana Satria dulu tinggal. Tapi aku tak pernah menemukannya lagi. Lamban laun aku tahu kalau aku gak bakal ketemu Satria lagi. Menurutku dia udah betah tinggal di Langsa. Ada banyak kenangan ketika takdir mempertemukan kami. Sengaja kuabadikan dalam buku diariku. Tapi sekarang buku diari itu udah gak ada. Aku sengaja membakarnya sehabis pertemuan terakhir tadi. Aku tak ingin berlama-lama menolak takdir. Selama satu tahun di SMA, Satria masih membayang di ingatanku.

2 comments:

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^