Lagi-lagi aku lalai.
Tanganku kembali menuliskan namanya di search facebookku, dan mulai mengklik
‘search’ di sebelahnya. Beberapa detik kemudian nama-nama yang serupa namanya
muncul berderetan. Lalu aku mengklik satu nama yang sedari tadi kucari. Akhirnya,
dinding Reza terbuka juga. Aku berusaha mencari informasi tentang Reza, mantan
kekasihku tiga tahun yang lalu.
Namun tetap saja aku masih tidak menemukan
status terbaru darinya. Fbnya seperti tak pernah dibuka. Mungkin kalau fb itu
seperti rumah, ia sudah dipenuhi oleh sawang laba-laba karena sang pemilik
tidak pernah update status, upload foto bahkan mengomentar status orang lain.
Dalam dunia maya Reza seperti sudah mati. Tak ada tanda-tanda kehidupan di
fbnya. Kemudian aku mengkilik tombol logout dan mematikan notebookku.
###
Tiga tahun yang lalu…
Tepat pada tanggal 22
Nopember ini status kami berubah. Yang semula pacaran menjadi lajang. Mungkin
kalau waktu itu aku mencantumkan status asliku di facebook, teman-teman fbku akan
mengomentari statusku yang terakhir, single. Hari ini adalah hari yang cukup
bersejarah. Bagiku, ini adalah kado ultah spesial dari orang tersayang selama
hidupku. Hahahaha, cukup unik bukan? Di saat terluka seperti ini aku masih bisa
tertawa dan menganggap ini biasa-biasa aja. Hey! Siapa bilang ini biasa-biasa
aja? Ini luar biasa sobat! Seperti biasa aku kembali mengambil secarik kertas
dan menuangkan segala isi hatiku di kertas itu. Setelah puas aku menaruh kertas
itu di dalam sebuah kotak yang terbungkus kertas kado. Kemudian menyimpan kotak
itu di belakang baju yang sudah terlipat rapi di lemariku. Aku memang sengaja
tidak menulisnya di buku diaryku. Itu karena aku tak ingin mengotori buku
diaryku dengan kisah-kisah kegalauan hati. Hahahaha, galau? Kata yang harus aku
musnahkan dalam hidup ini.
Malam ini, aku mencoba
menutup mataku dengan sebuah senyuman. Aku masih berangan-angan kalau apa yang
ingin dikatakan Aldo tadi siang adalah kabar gembira dari Reza. Reza menitipkan
sebuah kado pada Aldo untukku. Di dalam kado itu aku tak berharap ada
barang-barang mewah. Cukup hanya secarik kertas yang bertuliskan ‘I Love You
Forever’ saja sudah mampu menggantikan barang-barang yang bernilai miliyaran
rupiah. Lalu aku menempelkan kertas itu di buku diaryku yang isi tulisannya
tentang manisnya mencintai Reza. Jika semua angan itu jadi kenyataan,
seharusnya kertas itu sudah tertempel di lembaran terakhir buku diaryku. Namun
ternyata tidak! belum lagi aku menyelesaikan semua khayalan itu dalam
angan-angan, tuhan sudah membuatku terlelap.
###
21 Nopember 2009, Sabtu
Akhirnya sekolah kami
mengutus aku dan teman-temanku sekelas untuk mewakilkan sekolah dalam acara
perlombaan Bahasa Inggris di USU. Acara perlombaan itu diadakan pada hari Sabtu
dan Minggu, 21-22 Nopember 2009 di gedung Fakultas Bahasa dan Sastra USU.
Pagi-pagi sekali kami sudah sampai di sekolah dan berangkat bersama-sama ke
USU. Waktu itu, Reza, yang berstatus kekasihku juga ikut ke sana. Entah mengapa
belakangan ini ia berbeda. Kami jadi jarang teguran. Mungkin waktu itu dia
sedang sibuk dengan kegiatan sepak bolanya. Maklum, dia adalah salah satu
personil sepak bola di sekolahku, dan pada waktu itu aku dengar-dengar akan ada
pertandingan sepak bola. Jadi wajar saja, sikap dia seperti itu. Mungkin ia mau
fokus dulu.
“Mah, ada yang mau aku
sampaikan.” sapa Aldo ketika aku sedang mengantri di toilet umum wanita.
“Ya udah, bilang saja.”
jawabku apa adanya. Waktu itu aku masih belum bisa menduga-duga apa yang akan
dibilang Aldo.
“Gak enak ngomong
disini. Ini dari Reza!”
“Entar aja ya” aku
langsung meninggalkan Aldo dan mulai masuk ke toilet.
Sebenarnya ada apa ya
dengan Reza sampai-sampai Aldo ingin memberitahu sesuatu tentangnya. Apa
mungkin Reza mau memberiku kejutan melalui Aldo? Seminggu yang lalu kan
ultahku. Dia aja belum ngucapin ‘met ultah’ sama aku. Aku terus menerka-nerka.
Sehabis perlombaan
scrabble tadi, aku tak berjumpa dengan Reza. Kata Eki, ia pergi mencari kaos
bola dan bola kaki. Entahlah. Aku jadi kepikiran tentang apa yang akan
disampaikan Aldo tadi. Tapi kuurungkan niatku untuk langsung mencari Aldo dan
menanyakannya. Aku takut menampakkan perasaan ini. Nanti orang lain pikir aku
sangat mencintai Reza.
Aku tiba di rumah
hampir jam tujuh malam. Aku langsung bergegas solat magrib. Setelah itu aku
membereskan dapur dan menata ruangan. Biasanya aku melakukan itu semua ketika
sore hari. Untuk hari ini, agak sedikit molor waktunya. Malam hampir larut, aku
semakin tak bisa tidur. Aku jadi menghayal kalau seandainya apa yang
disampaikan Aldo nanti adalah kejutan ultahku, aku pasti salah satu wanita yang
paling bahagia nantinya. Semoga saja dugaanku ini benar. Aamiin…
Mataku masih saja belum
terlelap. Aku kepikiran Reza. Sudah dua minggu lebih kami tak pernah smsan. Aku
tahu bagaimana Reza. Dia bukan tipe lelaki yang suka kencan lewat dunia maya.
Tapi apa salahnya kalau aku sms dia malam ini. Aku rasa dia belum tidur.
“Za, kapan tanding
bolanya?” satu sms mendarat tertuju ke nomor Reza.
Satu menit. Dua menit.
Tiga menit…. 30 menit berlalu tanpa balasan sms dari Reza. Aku menghela nafas.
Mungkin dia sudah tidur, pikirku.
###
22 Nopember 2009,
Minggu
Hari ini adalah hari
terakhir perlombaan. Sama seperti kemarin, kami tetap harus ke USU. Masih ada
lomba speech dan grammar di sana. Walaupun perlombaanku sudah selesai kemarin,
aku juga harus tetap ke USU, menjadi supporter terhandal pastinya. Hari ini
agak mendung. Matahari mengintip di balik awan-awan tebal di langit. Pagi yang
cukup indah. Kuharap seindah hatiku nantinya.
Sesampai disana, aku
mencari-cari Reza dan ingin bertanya langsung padanya. Namun, ia tak kutemukan.
Lagi-lagi temannya bilang kalau dia sibuk dan gak bisa datang. Yah, aku maklumi
dia. Terkadang aku sedih sendiri. Punya kekasih tetapi seperti tak punya.
Pernah terlintas di benakku untuk putus, tapi kurungkan niatku. Aku masih
sayang sama Reza. Aku sempat menolak cinta teman abangku waktu itu dengan
alasan aku sangat mencintai Reza, padahal teman abangku itu sangat mencintaiku.
Hah? lalu Reza? Apa dia masih mencintaiku?
Mungkin iya, mungkin juga tidak! Aghh, tak bisa ditebak. Yang aku mengerti
sekarang cinta adalah cuek. Cuek berarti cinta. Seperti itulah sikap Reza
padaku belakangan ini.
Sehabis makan siang di
USU, Aldo datang menemuiku dan mengajakku mengobrol di sekitaran taman kampus
USU. Aku mengangguk sebagai tanda setuju dan langsung ke tempat tujuan. Aldo
menanyai keadaanku sekarang. Dia juga mengucapkan ‘met ultah’ padaku.
Sesampainya di taman, Aldo duduk di depanku. Inilah detik yang cukup
menegangkan dalam hidupku. Detik-detik yang menghapus segala rasa cinta terhadap
Reza. Cinta terhapus dan tergantikan dengan kebencian. Bukan kebencian tetapi
kekecewaan. Aku tak ingin membenci Reza. Hati ini terlalu suci untuk membenci
orang sebaik Reza.
“Seberapa besar sich
cinta kamu ke Reza, Mah?” Aldo mengawali pembicaraan ini dengan pertanyaan yang
cukup menghujam hatiku.
Awalnya aku tak tahu
apa maksud pertanyaan Aldo tadi. Aku heran saja untuk apa dia bertanya tentang
rasa itu? dalam situasi seperti ini aku masih memikirkan harga diri.
“Emangnya kenapa? Buat
apa kamu tau?” aku kembali bertanya. Sampai kapanpun tak ada orang yang berhak
tahu kalau aku sangat mencintai Reza. Siapapun itu. Cinta itu letaknya di hati,
bukan untuk dipublikasikan. Cukup aku dan Tuhan yang tahu. Aku menatap mata
Aldo sinis. Dia malah tersenyum.
“Bilang saja kenapa
Mah! Entah berapa persen kek, mungkin 99% atau 80%. Sekitaran gitu kan?” Aldo
terus memaksaku. Tapi aku tetap istiqomah untuk tidak mengatakannya.
Aku bangkit dari tempat
dudukku. Suasana semakin memanas dan menegangkan.
“Ada apa sich
sebenarnya? Langsung ajalah ke isi pembicaraan. Apa yang mau dibilang Reza?”
tegasku seketika tak tahan dengan pertanyaan konyol Aldo.
Aldo tertawa sekarang.
Dan aku hanya diam menatapnya jengkel. Mengikuti posisiku, Aldo juga berdiri.
“Gini Mah, kata Reza
‘Udah Ya’” sambung aldo tenang.
Aku masih heran dengan
kalimat Aldo tadi. Apa? Udah? Apa sich maksud anak ini? Udahan apa? Aku
mengerutkan dahi sebagai tanda tak mengerti.
“Jalani masing-masing,”
lanjut Aldo lagi mempertegas maksudnya.
Aku terdiam. Sebisa
mungkin aku mencerna semua kata-kata Aldo barusan. Kutahan segala perasaan ini.
Aku mengerti mengapa Reza agak berubah. Ini cara dia untuk mengakhiri hubungan
kami. Aku tersenyum kecut memandangi wajah Aldo yang tampak mengiba melihatku.
Aku tegar. Untuk kali ini, harga diri jauh lebih penting dari pada sakit hati.
“Alasannya?” suaraku
nyaris tak terdengar akibat menahan bom yang meledak di hati.
“Aku juga enggak tau
Mah. Enggak jelas,” sambung Aldo lagi.
Mataku mulai
berkaca-kaca. Kualihkan pandanganku dari tatapan Aldo dan menatap tiap
bunga-bunga yang bersemi indah di taman ini. Hanya butuh beberapa detik,
emosiku kembali stabil. Aku tersenyum menatap satu mawar putih yang di
kelilingi mawar merah di depanku.
“Sabar ya Mah! Kamu
sakit hati Mah? Aku juga sebenarnya gak suka liat cara dia putus sama kamu Mah!
Kalau kamu sakit hati, bilang aja Mah, biar aku kasi pelajaran dia,” sambung
Aldo lagi mencoba menenagkanku. Kurasa naluri Aldo cukup kuat membaca situasi
hatiku saat ini. Aku tahu, Aldo mencoba menjadi sok pahlawan dalam situasi
putus memutus ini. Dasar Aldo. Bego’ amat
jadi orang. Mana ada cewek yang gak sakit hati diputusin tanpa ada alasan yang
jelas. Walaupun aku tampak tegar tapi tetap saja hatiku rapuh. Geplek! Aku
membatin.
Seulas senyum masih
tersungging di pipi manisku. Dan mulai membalas tatapan Aldo.
“Ngapain pula aku sakit
hati. Biasa aja kali. Aku terima kok. Lagian ada pepatah yang bilang ‘mati
satu, tumbuh seribu’, ya kan?” ujarku sambil tertawa terbahak-bahak. Aku coba
menghibur diri.
“Aneh dirimu. Sok
tegar. Padahal sakit hati kan. Hahahaha.. ?” Aldo membalas tawaku. Kami saling
tersenyum.
Akhirnya hari pemutusan
berlangsung juga. Aku enggak pernah menyangka sebelumnya. Hubungan selama ini
yang terlihat langgeng dan harmonis, justru cepat juga berakhir. Ditambah lagi enggak
ada alasan yang jelas. Takdir berkata lain. Bagaimanapun juga aku harus terima.
Kini aku mengerti cinta bukanlah segalanya. Cinta enggak menjadi jaminan untuk
tetap bersama. Terkadang tanda cinta adalah putus dari orang lain. Cinta
berarti putus. Analogi yang salah. Itulah yang sedang aku alami. Tak semanis
yang kubayangkan. Namun, aku juga wajib menyadari bahwa keikhlasan jauh lebih
indah dari pada cinta. Aku harus ikhlas. Reza masih menyimpan berjuta alasan
mengapa ia mengakhiri hubungan ini. Kubiarkan ia menyimpan semua sampai takdir
yang angkat bicara atas situasi ini. Diary itu masih menyimpan sejuta kenangan
antara aku dan Reza. Kubuka lembar demi lembar diary itu. Kubaca halaman
pertama. Halaman yang menceritakan betapa manisnya jatuh cinta. Aku tersenyum
mencoba menahan tetesan air mata. Namun, ia tetap saja jatuh membasahi pipi
ini.
###
Malam sudah berganti
dan tiga tahun sudah berlalu. Aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu. Itu
karena tidak ada kejelasan atas putusnya hubungan ini. Semenjak kejadian itu,
Reza seakan menghilang dari kehidupanku. Dia pindah sekolah. Terakhir kabar
yang kudengar kalau ayah Reza dipindahtugaskan ke Jakarta. jadi mereka sekeluarga
harus pindah ke sana. Mungkin pindah juga menjadi alasan mengapa Reza
memutuskan hubungan kami. Nomor Reza yang dulunya bisa kuhubungi, kini sudah
tidak aktif lagi.
Tepat pukul 7 pagi, aku
langsung berangkat kuliah. Jarak antara rumah dan universitasku cukup jauh.
Apalagi macet dimana-mana ditambah lagi dosen tidak memberikan toleransi bagi
mahasiswa yang terlambat. Itulah yang membuatku semangat bangun jam lima pagi
dan meninggalkan kasur yang rasanya kian empuk ketika malam berganti.
“Hilmah, ini ada
titipan untukmu Nak.” tegur ibuku ketika aku datang menghampirinya untuk
berpamitan pergi kuliah.
Ibu memberiku sebuah
kotak yang dibalut kertas kado bergambar mickey mouse, kartun yang sangat aku
suka sewaktu masih kecil dulu.
“Dari siapa Bu?”
tanyaku sambil menerima kado itu.
“Ibu tidak tahu.
Kemarin ada karyawan titipan kilat datang memberikan bingkisan ini ke rumah
kita.” sambung ibu lagi.
Aku duduk di sebelah
ibu dan membuka perlahan-lahan isi kado itu. Dalam kado itu, hanya ada sepucuk
surat dan satu kertas yang di atasnya bergambar sketsa wajahku dengan seorang
pria. Kupandangi wajah sketsa pria yang berada di sebelahku. Sesekali aku
mengerutkan dahi karena sama sekali aku tidak mengetahui siapa wajah lelaki
itu. Lalu, aku mulai membuka surat itu. Perlahan-lahan kubaca dengan mengamati
kata demi kata yang tertuliskan. Lamban laun mataku sudah dipenuhi air mata.
Tanganku sibuk menghapus sedikit demi sedikit air mata yang terjatuh di pipi.
Kemudian, pandangan mataku mulai kabur. Bumi seakan gelap gulita dan aku mulai
jatuh di pangkuan ibu.
Untuk : Hilmah
Dari : your sweetheart,
Reza
Selamat ulang tahun
yang ke 20 ya Mah. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Beribu-ribu doa selalu
aku panjatkan pada Tuhan agar Tuhan menjagamu di saat kamu tertidur dan bangun.
Aku juga mendoakan agar kamu mendapatkan jodohmu yang baik suatu saat kelak.
Semoga 13 Nopember ini menjadi hari yang paling bahagia untukmu. Aamiin.
Maafkan segala sikapku
yang dingin tiga tahun yang lalu terhadapmu. Maafkan juga kalau aku terlalu
cepat mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kita dan aku memang sengaja
untuk tidak memberikan kejelasan alasan mengapa aku meninggalkanmu. Sepertinya
memang tidak ada kejelasan apapun atas keputusan itu karena hanya takdir yang
akan menjelaskannya saat kau membaca surat terakhirku ini.
Sepertinya kau sudah
bosan membaca tulisan permintaan maafku di surat ini, tapi itulah yang hanya
bisa aku sampaikan. Hatimu terlalu suci untuk aku sakiti. Aku sudah lancang
menghilang dari kehidupanmu. Sekali lagi maafkan aku.
Kau tahu siapa dua
orang yang aku gambar di skesta itu? gadis yang memakai jilbab itu, aku rasa
kamu tahu siapa dia. Itu adalah kamu. Kamu tampak anggun dengan balutan jilbab
itu. Aku juga percaya kalau kamu juga bertanya-tanya siapa pria yang berada di
sebelah gambarmu kan? itulah pria yang selalu aku doakan agar ia mendampingimu
kelak. Namun, sayang, aku masih tidak tahu siapa lelaki itu. Aku juga tak
mengerti mengapa tangan ini menggoreskan wajah lelaki itu. Tapi yang pasti,
lelaki itu bukan aku. Karena Tuhan mentakdirkan kamu bukan bersamaku.
Ketika kamu membaca
surat ini, aku sudah pergi jauh meninggalkan dunia ini dan hanya menyisakan
sketsa dan surat ini untukmu. Entah mengapa Tuhan terlalu cepat memanggilku.
Sejak dokter menvonisku terkena kanker otak tiga tahun yang lalu, tepatnya
tanggal 7 Nopember 2009, aku merasa bahwa hubungan ini memang harus diakhiri.
Aku enggak mau kalau semasa aku hidup, kamu menatapku sedih dengan balutan
infus rumah sakit di tanganku. Lebih baik aku menghilang dari tatapanmu
daripada aku harus menatapmu berlinangan air mata.
Percayalah, kisah kita
yang dulu akan tetap abadi di lauh mahfuz sana. Aku sama sekali tidak pernah
melupakanmu, dan melupakan kisah kita hingga akhirnya nyawaku hanya sampai di
kerongkongan saja. Percayalah, aku tetap bahagia menatapmu dari pintu surga
sana. Terimakasih sudah mau meluagkan waktumu membaca suratku.
Jakarta, 11 Nopember
2012
###
Reza sudah merelakan
takdirnya. Sedangkan aku? Aku hanya mencoba mengabadikan kisah-kisah itu.
Terkadang, aku masih tidak mengerti dengan takdir Tuhan mengapa Tuhan
memisahkan kami? Entahlah, yang aku tahu sekarang Tuhan masih menyimpan berjuta
rahasia takdirku selanjutnya.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^