Kita pernah sama-sama mengisi. Sejenak menjauh lalu
kembali lagi mendekat. Bingung harus berbuat apa dengan kondisi seperti ini.
Aku sama sekali tak tahu harus bagaimana sebab hati ini masih belum tahu apa
yang terjadi pada diri ini. Katakan padaku apa yang harus aku lakukan jika saat
ini aku merindukan kehadiranmu lagi?
Takbir berkumandang dengan
sangat merdu. Semua umat muslim di seluruh penjuru dunia senang menyambut malam
ini dan hari-hari berikutnya. Malam ini malam kemenangan setelah selama 30 hari
berpuasa penuh, menahan amarah, dan melakukan ritual ibadah yang biasa
dilakukan di bulan ramadhan pada umumnya. Malam ini, aku dan mama sengaja
keluar rumah menuju pasar. Sungguh ramai sekali. Banyak sekali orang yang
berpergian jalan-jalan. Terlihat motor-motor bergerak menuju pasar, dan
meninggalkan pasar, SPBU dipenuhi orang-orang yang mengantri, belum lagi
toko-toko baju dan sepatu semuanya ramai hingga kepadatan ini membuat
kemacetan. Kemacetan yang wajar kurasa. Setelah pulang dari pasar membeli toples
kue raya, aku dan mama pulang. Sampai di persimpangan, kami terjebak macet. Dan
aku menikmati kemacetan itu.
Berbeda dengan gadis-gadis
biasanya yang saat ini mereka tengah asyik duduk berdua dengan kekasihnya di
atas roda dua, tertawa, saling bercerita panjang, aku berbeda. Entah berapa
kali aku membuka fasilitas Facebook di hape ini selama lima menit. Kubuka,
melihat-lihat pemberitahuan, dan beranda, lalu kututup lagi. Aku hanya ingin
tahu kabarnya. Hanya itu. Walaupun ia tidak menyapaku atau mengomentari
statusku di FB. Aku hanya ingin melihat status apa yang dibuatnya hari ini.
Ternyata tidak ada padahal ia sering online. Aku sengaja memposting status yang
isinya tentang perpulanganku ke rumah hari Minggu silam agar ia tahu kalau aku
sedang berada di kampung. Tapi nyatanya sama. Kami masih tetap hilang
komunikasi selama dua minggu. Aku kembali menutup aplikasi FB dengan menarik
nafas panjang. Aku kecewa.
Aku memendam semua ini hanya
karena aku seorang wanita. Hanya wanita. Mana boleh wanita yang harus mengungkapkan
perasaannya pertama kali. Tidak boleh walaupun di luar sana banyak wanita yang
mengagungkan-agungkan emansipasi wanita. Katanya kesetaraan gender juga ada
dalam cinta dan aku hanya menatap sinis orang-orang yang berprinsip itu. Ini
masalah hati, Bung! Lebih baik aku mati dalam memendam rasa cinta yang amat
sangat dari pada harus mengungkapkan rasa itu terlebih dahulu.
Sehabis pulang dari pasar,
aku salat Isya dan membiarkan mata ini terpejam lebih awal dari biasanya. Aku
berusaha menidurkan mata ini, namun gagal karena pikiran ini masih hanyut dalam
khayalan tentangnya. Entahlah. Memendam rasa ini sama dengan makan buah
simalakana. Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya. Banyak
sekali hingga dengan pertanyaan itu aku tahu ia mencintaiku atau tidak. Mengapa
sejak lima bulan ini ia sering menelponku, mengirimi sms, mengomentari statusku
di Fb, memberi perhatian, motivasi dan nasehatnya untukku? Dia juga pernah
memintaku untuk berdoa agar ia lulus dalam testing ujian masuk perusahaan asing.
Apa itu terlihat biasa-biasa saja? Tidak! Semua perlakuannya itu membuatku
jatuh cinta. Kami sudah bertetangga sejak aku masih duduk di kelas satu SD. Ia
anak pindahan dari Jakarta dan menetap di Medan ini. Sudah lima belas tahun
kami mengenal dan baru ini kami komunikasi seintens ini. Aku pernah
mengaguminya ketika aku duduk di bangku SMP. Usia kami terpaut tiga tahun. Aku
berada di bangku SMP dan ia SMA. Aku sering menatapnya memakai baju kemeja
putih pendek dengan celana biru langit panjang. Ia memakai tas hitam dan
berjalan pelan menuju sekolah. Ia terlihat gagah. Aku suka melihatnya menyapu
halaman depan rumahnya di kala sore tiba. Aku juga sangat suka melihatnya
ketika ia duduk manis membaca buku di depan rumahnya. Ia remaja yang sangat
berbeda walau sewaktu ia kecil dulu ia sangat nakal. Ia pernah memukuli abang
sepupuku yang tinggal di rumah kami. Dan wajar, konteknya masih kecil. Tapi
kejadian itu membuat mamaku marah dan mendatanginya ke rumahnya. Kini kami
sudah hampir menyelesaikan masa remaja dan bergegas masuk kategori dewasa. Saat
ini usiaku 20 tahun, dan ia 23 tahun.
Sedikit tentangnya, namanya
Zafran Mumtaz. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya di USU jurusan Akutansi dan
sekarang tengah bekerja di perusahaan asing yang ada di Jakarta. Aku senang,
akhirnya ia lulus dalam testing masuk di perusahaan itu sebab beberapa waktu
lalu hati ini menghardik Tuhan agar ia mengabulkan doaku untuk Bang Zafran
walaupun bukan aku saja yang mendoakannya dalam ujian itu. Masih ada mamanya
yang sangat ia cintai, ayahnya, dan seluruh keluarga besarnya. Dua hari sebelum
bulan puasa tiba, ia pulang ke rumah dan aku masih berada di lokasi KKN. Saat ini,
ia sudah satu bulan di rumah. Entah mengapa, sejak ia pulang ke rumah, ia
sedikit berubah. Bang Zafran jarang menelponku, mengirimi sms, bahkan
mengomentari statusku. Aku rindu semua cerita-ceritanya, percakapan manis itu,
berbagai motivasi dan nasehatnya. Rindu, bahkan sangat rindu. Kerinduan ini
sungguh tiada bertepi. Aku ingin malam ini juga datang ke rumahnya,
menggedor-gedor pintunya, lalu menarik tangannya dan mengajaknya jalan-jalan.
Yah, itu hanya sebuah khayalan murahan yang tidak mungkin aku lakukan.
***
“Ayo Ran. Cepat! Nanti kita
enggak dapat tempat salat,” Jerit mama dari arah teras rumah. Aku masih asyik
memakai bedak, lalu memakai mukena.
“Iya Ma. Sebentar lagi
selesai,” suaraku tak kalah nyaring.
Aku keluar rumah menuju
mama. Wajah mama kelihatan marah. Sepanjang perjalanan, mama terus menasehatiku
atau lebih tepatnya memarahiku.
“Sering kali kamu lama-lama
bersiap. Nanti kita enggak dapat tempat salat Id,” ujar mama berulang-ulang.
Entah berapa kali. Dan aku hanya mengangguk pelan, mengiyakan.
Mama memang salah satu
manusia yang disiplin dan tepat waktu. Ini entah lebaran ke berapa yang tiap
lebaran mama selalu memarahiku. Aku bukannya tidak disiplin, tapi aku tidak mau
menunggu lama-lama di sana. Waktu aku masih SD, suasana salat begini, aku
pernah pergi jam tujuh pagi ke mesjid dan salatnya dimulai jam 8 pagi. Memang
waktu itu aku dapat tempat yang relatif dekat dengan imam, tapi sayangnya
kepalaku mendadak pusing. Mungkin itu efek menunggu terlalu lama. Dan mama
tidak terlalu mengerti apa yang kurasakan.
Empat puluh lima menit
berlaku dengan salat Id dan ceramah, semua jamaah bergegas pulang. Termasuk
aku. Sedangkan mama sibuk bersalam-salaman dengan teman-temannya. Sebentar lagi
aku berjalan menuju rumah dan meninggalkan mama. Ketika aku sudah ingin
meninggalkan mesjid, aku melihat sosok Bang Zafran dengan baju hitam koko dan
celana keper panjang ia kenakan. Ia sedang bercerita dengan ayahku di pinggiran
jalan. Mereka terlihat akrab. Sejenak kemudian kuurungkan niatku untuk melewati
mereka. Aku memasuki mesjid kembali dan menunggu mama. Lima menit kemudian, aku
sudah tidak melihat mereka di pinggiran jalan. Aku bergegas menuju rumah.
Sesampainya di rumah,
sungguh sangat mengejutkanku. Bang Zafran datang ke rumah. Ini untuk pertama
kalinya aku menatapnya lagi dengan mata ini setelah selama enam tahun aku tidak
melihatnya. Ada banyak perubahan dalam diri Bang Zafran. Ini juga untuk pertama
kalinya aku menatapnya dengan jarak yang relatif dekat. Wajah itu kembali
hadir. Aku mematung dan kami saling menatap.
“Apa kabar Ran?” tanyanya
dengan wajah yang sumringah. Namun hatiku ini masih percaya, ada rindu yang
menggebu di sudut matanya. Dan ia berhasil menutupinya.
“Baik, Abang?” tanyaku
padanya dengan tempo agak lambat. Aku kaku.
“Baik,” sambungnya singkat
dan kembali cerita dengan ayah.
Aku berjalan menuju kamar
dengan degupan jantung yag begitu kencang, tak seirama dengan kaki. Mama
tersenyum sebab mama tahu segala bentuk penantian ini.
“Buatkanlah minuman,” ujar
mama pelan.
Dan aku tersenyum sambil
mengangguk.
Sepuluh menit kemudian, aku
mengantarkan minuman. Setelah minumannya habis, Bang Zafran pulang ke rumah.
Ada perasaan lega merasuk di
jiwa ini. Entahlah. Ini juga untuk pertama kalinya ia datang ke rumahku setelah
15 tahun lebih bertetangga. Risau ini terasa telah usai. Kehadirannya seperti
menwarkan kepastian yang selalu kunanti. Ada banyak rasa syukur yang
kupanjatkan hari ini. Aku berterimakasih pada Tuhan yang sudah membuat takdir
kami bertemu, pada seluruh elemen alam semesta yang sudah mempertemukan kami,
pada saksi, semut-semut kecil yang sedang asyik melewati depan pagar rumahku lalu
pada rumput yang menjadi bekas injakannya Bang Zafran, semuanya meninggalkan
jejak. Tepat pada tanggal 13 November, kita kembali di pertemukan. Dan hati ini
semakin mantap memasang wajahnya di bingkai hatiku. Wajah teduh penuh dengan
ketenangan, senyuman indah, lalu alis mata yang membuat mata ini tak bisa
terpejam. Namun sayangnya, bukan segala bentuk itu yang membuatku jatuh hati,
bukan! Tapi segala cara yang ia lakukan membuat hati ini menjadi sangat
mencintainya.
Esoknya, takdir kembali
menyapa kami dalam ruang dan waktu yang sama. Bang Zafran mengajakku jalan.
Katanya ia ingin hunting makanan enak di sekitaran Medan ini. Dan ia ingin aku
menemaninya. Aku hanya membalas, “Iya”
dalam sms itu. Ada perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Ia
terlalu bermakna, terlalu bermakna. Aku menengadah ke langit, dan berkata, “Terimakasih
Tuhan.” Satu jam setengah kemudian, ia datang ke rumahku, berpamitan pada mama
dan ayah. Caranya membuatku semakin memilihnya.
Hari ini kami banyak
bercerita di atas roda dua lari 20 Km/jam. Patokan lari yang sangat lambat.
Kami saling bercerita tentang diri kami, tentang kuliahku, mimpi-mimpiku
menjadi penulis dan pembisnis, angan-angannya, ceritanya tentang kota Jakarta,
tentang buku yang ia baca, dan masih banyak lagi. Tanpa kusadari sepanjang
perjalanan, jantung ini masih tengah berdegup kencang dari biasanya. Perlahan
ada perasaan yang merasuk di jiwa ini. Perasaan itu semakin memaku wajahnya
dalam bingkai hati ini, menutup pintu lain yang bisa dimasuki orang-orang dan
sebongkah perasaan yang kembali membuat jantung ini kembali berdetak dari
biasanya. Namun tetap saja, aku menyimpannya rapat-rapat hingga tidak ada yang
tahu kecuali aku dan Tuhan. Kini, aku tengah menantinya untuk mengungkapkan
perasaan itu. Entah sampai kapan penantian ini. Biarkan saja waktu yang
menjawabnya. Biarkan saja
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^