Tinggal pilih entri yang kamu suka

Saturday, October 5, 2019

BEGINI RASANYA NGURUS BAYI (part 1)

Assalamualaikum pembaca setia blogku. Sudah lama banget ya aku enggak ngeblog, yah asalan pertama sich karena aku sibuk ngurus bayiku yang sekarang usianya sudah hampir 15 bulan, dan yang kedua aku agak males nulis sejak tamat kuliah, hehehe. Kalo flashback zaman waktu kuliah, aku pernah pengen buat novel sendiri yang ceritanya tentang kisah-kisahku waktu masih ngampus dulu, udah aku laksanakan sich, tinggal 30 % lagi rampung, tapi aku bingung sendiri mikir endingnya gimana, yang jelas itu cerita gantung banget. Mirip kayak cerita Milea dan Dilan, Cuma bedanya tulisannya enggak sebaik Mas Pidi Baiq. Hehehe. Aku nulisnya duet dengan teman sekelasku. Ada beberapa bagian yang ditulisnya nyaris nyata, dan ujungnya dia juga bingung mikir endingnya kayak gimana. Kami sama-sama buntu. Yah aku harap aku bisa dapat ide bikin endingnya lebih baik dari cerita aslinya. Mudah-mudahan.
Kali ini aku mau nulis pengalamanku ngurusin bayi, mulai dari ia lahir sampe usia yang sekarang ini. Jadi ibu yang baik itu enggak gampang ya ternyata. Kalo Cuma jadi ibu aja sich aku bisa, tapi embel-embel “belakang” itu yang sulit, jadi ibu yang baik dan sholeha itu enggak gampang. Lebih gampang ngelahirinnya dari pada negdidiknya, tapi yang jelas disitulah aku bisa panen pahala apalagi aku fullmom.

Memang dari awal menikah aku dan suami memilih untuk mandiri, tinggal jauh dari orang tua dan mertua, sesuai dengan lokasi kerja suamiku. Jadi ketika mengurus bayiku juga aku mulai mandiri. Ketika melahirkan, ibuku mengurusku sampe usia bayiku 40 hari. Setelah itu, barulah aku mengurusnya sendiri. Aku cuma punya tiga orang bersaudara kandung, Abang dan adik perempuanku yang usianya terpaut denganku 10 tahunan. Jadi aku tidak punya riwayat pengalaman mengurus bayi, dan hasilnya, anak sulungku jadi bahan percobaan pertama mengurus bayi. Bahkan menggendong bayi yang usianya belum sampe satu bulan aja aku enggak pernah. Makanya pelajaran pertama adalah menggendong bayi yang belum bisa angkat leher. Dan aku sangat kaku.
Anak bayiku cenderung suka rewel. Awalnya aku pikir karena memang usianya masih bayi tapi ternyata ibuku juga berpendapat sama. “Perasaan dulu ma sewaktu Lelan (adikku) masih kecil enggak serewel Alfa (bayiku) deh ma.” Keluhku. “Mama dulu kayak enggak punya anak bayi waktu Lelan masih kecil. Nangis ketika magrib enggak pernah. Malam tidurnya nyenyak, jarang nangis deh pokoknya. Beda banget sama Alfa” sambungku lagi. “Iya ya rul, ini anakmu memang rewel banget. Habis magrib pasti nangis, udah dibacain doa juga begitu” sambung mamaku.
Rutinitas Alfa waktu sebelum usianya beranjak 4 bulan ya gitu. Sehabis magrib selalu nangis, aku sampai oper-operan menggondongnya dengan suamiku. Mungkin dia masuk angin. Besoknya sebelum magrib, aku memakaikan Alfa daun jarak diperutnya, dan sehabis magrib masih sama, suka nangis. Rutinitas biasa, oper-operan gendongin Alfa juga berlanjut, kadang bisa sampe jam 9 malam. Luar biasa ekstra. Malam juga enggak nyenyak tidur. Alfa sering bangun malam, kadang juga menangis. Beberapa bulan, aku mulai pusing. Kadang aku mikir kalo aku ini belum cocok jadi ibu. Dan sindrom baby blues pun melanda. Pernah suatu hari ketika usia Alfa hampir dua bulan, aku pernah mengunci diriku di kamar belakang, menangis sejadi-jadinya, mengutuk dan menyalahkan diriku sendiri. Dan syukur Alhamdulillah, suamiku pelan-pelan menyemangatiku, tidak menyalahkanku sedikit pun atas rewelnya Alfa. Sedikit menghibur tapi masih benar-benar sindrom itu belum hilang.
Ketika usia Alfa memasuki dua bulan lebih, adik iparku yang baru saja tamat kuliah tinggal bareng bersama kami, dan kehadirannya di rumahku sangat membantu mengurus Alfa. Aku mulai belajar menggendong Alfa menggunakan kain gendong tradisional, membedongnya, memandikannya dan semuanya aku belajar otodidak. Dan yang paling penting aku belajar membuat Alfa nyaman. Pelan tapi pasti walaupun belum begitu sempurna, aku mulai bisa. Dari semua itu, yang paling sulit menurutku adalah menggendong Alfa dengan kain gendong tradisional yang kami biasa sebut gendong dengan kain jarik. Itu repot banget. Pernah sewaktu adik iparku sudah pulang kampung, aku belanja ke warung depan gangku, naik motor dengan suamiku. Untung waktu itu sepi. Ibu itu, pemilik warung suka banget memerhatikanku menggendong anak. Mungkin karena iya sudah berpengalaman jadi ibu, makanya ia suka ngelirik apa yang salah denganku. Yah jujur, sedikit risih. Ibu muda tidak suka dikomentari, tapi kami welcome kalo diajari. Benar enggak ibu-ibu muda?
Dan yang paling aku ingat, sewaktu aku selesai belanja, dia bilang begini, “Yang enak gitu gendongnya”. Aku mendengar itu agak sedikit menusuk ke hati ya. Aku udah belajar susah payah menggendong, eh dia malah bilang begitu. Aku balas senyum, “ Udah mau pulang aja kok Bu”. Ah rasanya aku pengen bilang, “Bukan urusanmu Bu” tapi apa daya, dari kecil sampe besar aku belajar menghormati yang lebih tua. Aku kesal.
Usia Alfa sudah memasuki 8 bulan aku mulai lega, Alfa makannya juga lumayan banget, aku sering memberinya wortel, bayam, kacang hijau, dan dia makan itu dengan lahap. Ketika usia Alfa memasuki 10 bulan, suamiku memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya, di Tapsel, aku nurut aja karena memang ada masalah di kerjaan suamiku. Dan masuk di usia itu, Alfa mulai susah makan, dia enggak doyan makan. Kupikir semuala karena mungkin enggak enak, apalagi aku tidak pernah menambahkan garam atau gula di makanannya. Niatnya sampai usianya genap setahun, baru aku kasi gula dan garam, tapi akhirnya ibu mertuaku menyarankan untuk meletakkan gula dan garam supaya lebih sedap dan semoga Alfa bisa lahap makannya. Nyatanya juga Alfa enggak doyan makan. Aku sempat hampir putus asa ditambah lagi Alfa semakin hari semakin kurus. Selain dia enggak doyan makan, dia juga sudah semakin aktif.
Tinggal beberapa hari di Tapsel, Alfa semakin sering menangis, dia tidak mau dipegang kakek neneknya, dia cuma mau sama mama dan ayahnya. Aku makin kewalahan. Untungnya saja mertuaku mengerti soal itu, beliau juga menyarankanku untuk segera memeriksa Alfa, apalagi melihat Alfa yang sering nangis kalo tengah malam. Enggak lama, Alfa pun demam dan pilek. Kami membawanya ke dokter yang sangat ampuh di kampung itu, tapi anehnya, ketika sampai di sana, Alfa malah main, minta ditatih, berdiri pelan-pelan, sampai dokter juga bingung. Beliau bilang anaknya sehat-sehat gini kok dibawa, memang sich waktu itu demam Alfa sudah turun. Prihal soal nangis tengah malam, beliau bilang kalo Alfa lapar makanya nangis, dan dia harus dikasi makanan. Kupikir mungkin karena Asiku semakin hari semakin sedikit, apalagi ditambah dengan sindrom baby blues itu. Kemudian beliau memeriksa suhu badan Alfa, dan hanya 37 derajat, masih tergolong normal katanya. Sebelum pulang, beliau memberikan kami obat demam untuk Alfa. Obat diminum kalo suhu badannya naik.

Drama ibu yang punya anak bayi begini amat ya, kadang aku mengeluh dalam hati, aku tahu sindrom baby blues itu belum hilang, dan tugasku bagaimana menghilangkannya. Di usia 10 bulan juga Alhamdulillah Alfa sudah tahu siapa emaknya, jadi kalau nangis, aku sudah mampu menenangkannya. Itu yang harus aku syukuri, sangat harus aku syukuri.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^