Hai pembaca setia blogku. terimakasih sudah berkunjung kembali. Kali ini aku ingin menuliskan cerpen bersambung. Isinya fiksi jadi jangan pernah baper membacanya. Ini adalah bagian dari khayalanku semata, tidak kurang tidak lebih. Selamat menikmati tulisanku ini. Saran dan masukan yang membangun sangat diterima, apalagi kalau kamu mau mensharing tulisan ini. Enjoy your reading!
***
Malam
ini aku ingin bercerita panjang lebar, tentang seseorang yang sekarang aku beri
gelar ia “dove”. Kenapa dengan Dove? Aku tahu artinya burung merpati tapi bukan
itu, aku anggap dia sebuah simbol “kedamaian”. Dan ini sudah tahun keempat, aku
tidak pernah menemuinya lagi.
Pertemuan
itu awal segalanya, segala jenis pelajaran hidup dari seorang gadis bermata
bulat, teduh, penuh kedamaian. Tepat sembilan tahun yang lalu, di bulan
September, awal perkuliahan kami. Aku seorang mahasiswa yang masuk universitas
tanpa tes, langsung dari jalur undangan. Babahku (ayah) yang menyarankanku
untuk mendaftar di universitas berbasis Islam di kota kelahiranku ini. Aku
menurut, beliau juga bilang kalau ilmu agama harus selalu dipelajari. Beliau
juga menyarankanku untuk mengambil jurusan apapun yang aku mau di kampus itu,
asal di kampus itu saja. Aku mengiyakan, dan aku memilih jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris di kampus itu. Aku tidak punya bakat untuk menjadi seorang guru,
terlebih lagi pendidik. Dan dari sini aku pelajari semuanya, dari gadis yang
suka memakai jilbab kuning kunyit itu.
***
Siang
itu, saat matahari nyaris tepat di atas kepalaku, aku bergegas berangkat ke
kampus, ini pertama kalinya aku kesana setelah seminggu penuh Ospek tidak aku
ikuti. Seminggu yang lalu aku masih sibuk kerja di salah satu pusat
perbelanjaan di kota Medan ini, menjadi sales promotion man untuk sesaat,
mengisi waktu libur panjang sehabis tamat SMA. Dan minggu kemarin adalah minggu
terakhir aku bekerja disana.
Sampai
di fakultasku, aku melihat banyak sekali orang-orang berdesak-desakan menatap
papan pengumunan, aku pelan-pelan menuju kesana.
“Hei
Fathir, Kelas kau di lantai paling atas, 322” jerit Salsa yang jaraknya lima
meter lebih dariku. Salsa ini saudara jauh dari ayahku. Aku kurang tau soal
silsilah margaku tapi ayah pernah menjelaskan itu ketika Salsa bertandang ke
rumah kami beberapa bulan lalu.
Aku
mendekat ke kerumunan orang-orang itu, tapi ia menarik lenganku, dan bilang
bahwa ternyata dia beda kelas denganku. Yah syukurlah, aku bisa leluasa di
kelas tanpa ada yang menguntitku. Wajahnya tampak kesal, karena memang sejak
mendaftar di kampus ini, dia sengaja untuk memilih jurusan yang sama denganku,
katanya supaya aku dan dia bisa sekelas. Aku tidak terlalu menanggapinya.
Aku
masuk ke kelas. Kelas masih sepi hanya ada dua-tiga –empat orang saja disana.
Aku duduk menyudut, enggan berbicara dengan siapapun. Siang itu tidak ada dosen
yang masuk, kegiatannya hanya perkenalan satu sama lain tanpa komando, dan
pemilihan kosma (komisaris mahasiswa) yang super enggak jelas aturannya. Sayangnya,
aku tak ingin banyak berbasa basi dengan teman-teman baruku ini. Aku diam, dan
memerhatikan mereka.
Di
sudut belakang, aku melihat seorang gadis memakai baju batik pink biru donker,
dengan jilbab yang senada dengan warna biru donkernya pun sama sepertiku, tidak
tertarik dengan pemilihan kosma, dia hanya berkenalan dengan teman-teman di
sekitarnya. Dia lebih sering tersenyum mendengarkan cerita singkat teman
barunya. Aku menatapnya dari sini, mencuri pandang dan sesekali mata kami beradu,
dia tersenyum. Mungkin ingin berkenalan atau memang mungkin dia gadis yang
ramah. Kurasa itu, tapi ada satu yang ganjil darinya. Tatapannya, senyumannya
damai menenangkan. Ah aku langsung memalingkan wajah.
***
Dua
hari kemudian aku tahu siapa namanya. Namanya indah, sangat indah, dan ini kali
pertama aku mendengar nama itu, tidak ada yang punya nama sebagus itu kecuali
dia yang punya senyum dan tatapan menenangkan, Faradina Naziya. “Kamu bisa
panggil aku Fara” ucapnya waktu aku meminta nomor hapenya untuk alasan tugas
kelompok yang membuatku harus satu kelompok dengannya.
Mulai
malam itu, aku sering mengiriminya pesan, bertanya prihal kenyamanan di kelas,
dan bertanya seputar hal-hal receh, seperti makanan dan minuman kesukaannya,
bahkan warna favoritnya. Dan dia selalu positif thinking untuk itu, tidak
pernah baper sekalipun dan tetap menganggapku seadanya saja, teman sekelas.
Hari
demi hari, kami jadi sahabat baik, aku sering mencuri-curi pandang di kelas,
melihatnya menulis, berbicara, dan tersenyum, damai sekali. Sayang, kami tak
pernah terlibat percakapan kecil di kelas face toface, aku hanya berani
menyapanya lewat sms saja. Dan dia juga begitu, seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa diantara kami, tak pernah ada percakapan panjang lebar seperti di
sms. Aku kesal. Pernah sesekali aku bertanya prihal keakraban kami, tapi ia
malah membalas yang aku sendiri sudah bisa menebak kelanjutannya.
Aku
: Kenapa sich Ra, kita tidak pernah bisa seakrab ini ketika di kelas?
Kukirim
pesan itu dengan emoticon sedikit kesal
Fara
: Ya kamu kalo mau cerita sama aku di kelas ya cerita aja loh. Rasaku biasa
aja.
Membosankan.
Dan besoknya aku berencana untuk tidak mengiriminya sms. Kadang-kadang juga aku
enggak membalas pesan Fara yang kupikir tidak penting.
Nyaris
hampir tiga bulan penuh sebelum aku memutuskan utnuk tidak mengiriminya atau
membalas pesannya, sedikit banyak aku tahu sifat dan karakter Fara. Bagi
orang-orang, dia adalah gadis yang bersemangat, tapi bagiku malah sebaliknya.
Dia malah butuh disemangati. Aku tak ingin menuliskan detail setiap apa yang
menjadi pembicaraan kami, yang jelas dia benar-benar kehilangan semangat saat
ini, dan soal itu hanya aku yang tahu.
Sebelum
berangkat kuliah jam sebelas siang, aku menyempatkan diri ke Gramedia, mencari
buku yang penuh dengan kata-kata motivasi untuk Fara. Dia memang tidak
memintanya, tapi aku memang ingin membantunya.
Aku
sengaja menunggu jam perkuliahan kami berakhir untuk memberinya buku ini. Rasanya
malu sekali kalau aku memberikannya di kelas, aku tahu walaupun sekarang kami
sudah saling kenal, saling akrab dengan teman-teman yang lain. Aku
menyembunyikan semuanya dari mereka.
Ketika
jam perkuliahan berakhir, aku sengaja keluar kelas lebih dulu, menunggu
teman-teman satu persatu keluar di samping pintu keluar dan memegang buku.
Menjegat Fara. Dan benar saja, kelas hanya tinggal beberapa orang saja. Tapi
Fara masih di kelas, bercerita, tertawa dengan Tari, yang kulihat sekrang sudah
jadi kawan dekatnya. Aku diam mematung sambil sesekali menatap Fara di balik
kacamata tebalku ini. Lama sekali, keluhku. Aku menyandarkan tubuhku sedikit
rapat di dinding ini. dan enggak lama kemudian, Fara keluar.
“Nih
baca” Aku menjegat Fara, dan menyodorkan bukuku.
“Apa
ini?” sambungnya bingung
“Buku,
baca aja” aku mencoba membuang rasa gerogiku.
Fara
mengambil buku kecil bercover merah itu dari tanganku. Dia bilang “terimakasih”
lalu beranjak pergi. Aku deg deg an.
Malamnya
ia mengirimiku pesan sms
Fara
: Maksud kamu apa ya Fa meminjamkanku buku ini. Masak di bagian depan isinya
“spesial untuk orang-orang yang kehilangan semangat. Memang aku kehilangan
semangat apa?
Aku
baca sambil tertawa.
Aku
: ya kamu kan memang kehilangan semangat Ra. Keliatan tuh dari wajah kamu.
Balasku
cuek. Dan yang tidak aku sangka-sangka dia malah membalas lain dari prediksiku
Fara
: Oh ya, teman kosku tertarik bacanya. Boleh kan dia pinjam?
Aku
: Enggak baca dulu aja.
Fara
: Iya maksudku setelah aku baca habis, dia boleh pinjam kan?
Aku
: Enggak boleh
Fara
: Dia suka bukunya, boleh ya.
Fara
membujukku, tapi aku tidak ingin meminjamkan buku itu pada siapapun selain
Fara, kurasa dia cukup amanah untuk itu.
Aku
: Enggak
Padahal
aku ingin menyampaikan pesan tersirat bahwa tidak ada yang boleh membaca buku
itu, atau sekedar memegangnya, itu karena kamu “spesial”. Itu saja. Dan kurasa
Fara masih biasa menanggapinya, tidak pernah baper.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^