Tinggal pilih entri yang kamu suka

Wednesday, October 9, 2019

Cerpen Asmara : Dove (Hanya fiksi)


Hai pembaca setia blogku. terimakasih sudah berkunjung kembali. Kali ini aku ingin menuliskan cerpen bersambung. Isinya fiksi jadi jangan pernah baper membacanya. Ini adalah bagian dari khayalanku semata, tidak kurang tidak lebih. Selamat menikmati tulisanku ini. Saran dan masukan yang membangun sangat diterima, apalagi kalau kamu mau mensharing tulisan ini. Enjoy your reading!

***

Malam ini aku ingin bercerita panjang lebar, tentang seseorang yang sekarang aku beri gelar ia “dove”. Kenapa dengan Dove? Aku tahu artinya burung merpati tapi bukan itu, aku anggap dia sebuah simbol “kedamaian”. Dan ini sudah tahun keempat, aku tidak pernah menemuinya lagi.
Pertemuan itu awal segalanya, segala jenis pelajaran hidup dari seorang gadis bermata bulat, teduh, penuh kedamaian. Tepat sembilan tahun yang lalu, di bulan September, awal perkuliahan kami. Aku seorang mahasiswa yang masuk universitas tanpa tes, langsung dari jalur undangan. Babahku (ayah) yang menyarankanku untuk mendaftar di universitas berbasis Islam di kota kelahiranku ini. Aku menurut, beliau juga bilang kalau ilmu agama harus selalu dipelajari. Beliau juga menyarankanku untuk mengambil jurusan apapun yang aku mau di kampus itu, asal di kampus itu saja. Aku mengiyakan, dan aku memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus itu. Aku tidak punya bakat untuk menjadi seorang guru, terlebih lagi pendidik. Dan dari sini aku pelajari semuanya, dari gadis yang suka memakai jilbab kuning kunyit itu.

***
Siang itu, saat matahari nyaris tepat di atas kepalaku, aku bergegas berangkat ke kampus, ini pertama kalinya aku kesana setelah seminggu penuh Ospek tidak aku ikuti. Seminggu yang lalu aku masih sibuk kerja di salah satu pusat perbelanjaan di kota Medan ini, menjadi sales promotion man untuk sesaat, mengisi waktu libur panjang sehabis tamat SMA. Dan minggu kemarin adalah minggu terakhir aku bekerja disana.
Sampai di fakultasku, aku melihat banyak sekali orang-orang berdesak-desakan menatap papan pengumunan, aku pelan-pelan menuju kesana.
“Hei Fathir, Kelas kau di lantai paling atas, 322” jerit Salsa yang jaraknya lima meter lebih dariku. Salsa ini saudara jauh dari ayahku. Aku kurang tau soal silsilah margaku tapi ayah pernah menjelaskan itu ketika Salsa bertandang ke rumah kami beberapa bulan lalu.
Aku mendekat ke kerumunan orang-orang itu, tapi ia menarik lenganku, dan bilang bahwa ternyata dia beda kelas denganku. Yah syukurlah, aku bisa leluasa di kelas tanpa ada yang menguntitku. Wajahnya tampak kesal, karena memang sejak mendaftar di kampus ini, dia sengaja untuk memilih jurusan yang sama denganku, katanya supaya aku dan dia bisa sekelas. Aku tidak terlalu menanggapinya.
Aku masuk ke kelas. Kelas masih sepi hanya ada dua-tiga –empat orang saja disana. Aku duduk menyudut, enggan berbicara dengan siapapun. Siang itu tidak ada dosen yang masuk, kegiatannya hanya perkenalan satu sama lain tanpa komando, dan pemilihan kosma (komisaris mahasiswa) yang super enggak jelas aturannya. Sayangnya, aku tak ingin banyak berbasa basi dengan teman-teman baruku ini. Aku diam, dan memerhatikan mereka.
Di sudut belakang, aku melihat seorang gadis memakai baju batik pink biru donker, dengan jilbab yang senada dengan warna biru donkernya pun sama sepertiku, tidak tertarik dengan pemilihan kosma, dia hanya berkenalan dengan teman-teman di sekitarnya. Dia lebih sering tersenyum mendengarkan cerita singkat teman barunya. Aku menatapnya dari sini, mencuri pandang dan sesekali mata kami beradu, dia tersenyum. Mungkin ingin berkenalan atau memang mungkin dia gadis yang ramah. Kurasa itu, tapi ada satu yang ganjil darinya. Tatapannya, senyumannya damai menenangkan. Ah aku langsung memalingkan wajah.
 ***
Dua hari kemudian aku tahu siapa namanya. Namanya indah, sangat indah, dan ini kali pertama aku mendengar nama itu, tidak ada yang punya nama sebagus itu kecuali dia yang punya senyum dan tatapan menenangkan, Faradina Naziya. “Kamu bisa panggil aku Fara” ucapnya waktu aku meminta nomor hapenya untuk alasan tugas kelompok yang membuatku harus satu kelompok dengannya.
Mulai malam itu, aku sering mengiriminya pesan, bertanya prihal kenyamanan di kelas, dan bertanya seputar hal-hal receh, seperti makanan dan minuman kesukaannya, bahkan warna favoritnya. Dan dia selalu positif thinking untuk itu, tidak pernah baper sekalipun dan tetap menganggapku seadanya saja, teman sekelas.
Hari demi hari, kami jadi sahabat baik, aku sering mencuri-curi pandang di kelas, melihatnya menulis, berbicara, dan tersenyum, damai sekali. Sayang, kami tak pernah terlibat percakapan kecil di kelas face toface, aku hanya berani menyapanya lewat sms saja. Dan dia juga begitu, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami, tak pernah ada percakapan panjang lebar seperti di sms. Aku kesal. Pernah sesekali aku bertanya prihal keakraban kami, tapi ia malah membalas yang aku sendiri sudah bisa menebak kelanjutannya.
Aku : Kenapa sich Ra, kita tidak pernah bisa seakrab ini ketika di kelas?
Kukirim pesan itu dengan emoticon sedikit kesal
Fara : Ya kamu kalo mau cerita sama aku di kelas ya cerita aja loh. Rasaku biasa aja.
Membosankan. Dan besoknya aku berencana untuk tidak mengiriminya sms. Kadang-kadang juga aku enggak membalas pesan Fara yang kupikir tidak penting.
Nyaris hampir tiga bulan penuh sebelum aku memutuskan utnuk tidak mengiriminya atau membalas pesannya, sedikit banyak aku tahu sifat dan karakter Fara. Bagi orang-orang, dia adalah gadis yang bersemangat, tapi bagiku malah sebaliknya. Dia malah butuh disemangati. Aku tak ingin menuliskan detail setiap apa yang menjadi pembicaraan kami, yang jelas dia benar-benar kehilangan semangat saat ini, dan soal itu hanya aku yang tahu.
Sebelum berangkat kuliah jam sebelas siang, aku menyempatkan diri ke Gramedia, mencari buku yang penuh dengan kata-kata motivasi untuk Fara. Dia memang tidak memintanya, tapi aku memang ingin membantunya.
Aku sengaja menunggu jam perkuliahan kami berakhir untuk memberinya buku ini. Rasanya malu sekali kalau aku memberikannya di kelas, aku tahu walaupun sekarang kami sudah saling kenal, saling akrab dengan teman-teman yang lain. Aku menyembunyikan semuanya dari mereka.
Ketika jam perkuliahan berakhir, aku sengaja keluar kelas lebih dulu, menunggu teman-teman satu persatu keluar di samping pintu keluar dan memegang buku. Menjegat Fara. Dan benar saja, kelas hanya tinggal beberapa orang saja. Tapi Fara masih di kelas, bercerita, tertawa dengan Tari, yang kulihat sekrang sudah jadi kawan dekatnya. Aku diam mematung sambil sesekali menatap Fara di balik kacamata tebalku ini. Lama sekali, keluhku. Aku menyandarkan tubuhku sedikit rapat di dinding ini. dan enggak lama kemudian, Fara keluar.
“Nih baca” Aku menjegat Fara, dan menyodorkan bukuku.
“Apa ini?” sambungnya bingung
“Buku, baca aja” aku mencoba membuang rasa gerogiku.
Fara mengambil buku kecil bercover merah itu dari tanganku. Dia bilang “terimakasih” lalu beranjak pergi. Aku deg deg an.
Malamnya ia mengirimiku pesan sms
Fara : Maksud kamu apa ya Fa meminjamkanku buku ini. Masak di bagian depan isinya “spesial untuk orang-orang yang kehilangan semangat. Memang aku kehilangan semangat apa?
Aku baca sambil tertawa.
Aku : ya kamu kan memang kehilangan semangat Ra. Keliatan tuh dari wajah kamu.
Balasku cuek. Dan yang tidak aku sangka-sangka dia malah membalas lain dari prediksiku
Fara : Oh ya, teman kosku tertarik bacanya. Boleh kan dia pinjam?
Aku : Enggak baca dulu aja.
Fara : Iya maksudku setelah aku baca habis, dia boleh pinjam kan?
Aku : Enggak boleh
Fara : Dia suka bukunya, boleh ya.
Fara membujukku, tapi aku tidak ingin meminjamkan buku itu pada siapapun selain Fara, kurasa dia cukup amanah untuk itu.
Aku : Enggak
Padahal aku ingin menyampaikan pesan tersirat bahwa tidak ada yang boleh membaca buku itu, atau sekedar memegangnya, itu karena kamu “spesial”. Itu saja. Dan kurasa Fara masih biasa menanggapinya, tidak pernah baper.


No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^