Tinggal pilih entri yang kamu suka

Thursday, November 3, 2011

Ku Dewasa Karena Islam

Dua bulan lagi umurku berada pada level 19 tahun. Tak terasa aku sudah cukup lama bertengger di bumi ini. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri. Apa yang sudah aku dapatkan di usiaku yang hampir kepala dua? Sama sekali aku belum mendapatkan rupiah dari hasil keringatku sendiri dan dari detik yang kupakai untuk memeras keringat itu. Entahlah! aku iri dengan pemulung-pemulung di jalanan. Mereka bisa bekerja keras tanpa pendidikan dan tak pandang umur. Bahkan mereka sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri dan tak pernah meminta uang dengan orang tua. Aku kalah dari mereka.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mungkin apa yang aku punya, orang-orang tak punya itu dan apa yang mereka punya, mungkin aku juga tak memilikinya. Allah itu maha adil bukan? Itulah yang membuat aku sadar untuk tidak terus-terusan mengeluh dengan kekurangan yang aku miliki. Satu pertanyaan lagi kini bersarang di otakku. Apakah aku telah merasa dewasa di usiaku saat ini? Susah menjawabnya sobat! Dulu sewaktu aku kecil, aku kira orang yang sudah besar berarti ia telah dewasa. Ternyata pikiraku itu salah. Seiring berjalannya waktu aku semakin paham apa arti kedewasaan. Setiap manusia pasti akan tua tapi tidak semua manusia dewasa! Maka dari itu, aku semakin ragu dengan kematangan umur yang hampir aku miliki. Aku takut aku tak bisa dewasa. “Seseorang akan dewasa ketika ia mengenal Islam” sepenggal kalimat yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Itu adalah ucapan dari Ummi Farida, ustazahku sewaktu di SMA dulu. Sejujurnya dulu aku kurang setuju dengan statement yang beliau berikan. Tapi sekarang aku merasakan kebenaran perkataannya. Aku gak tahu kenapa aku bisa membenarkannya tapi yang jelas kini aku hampir merasakan kedewasaan itu ketika aku tahu islam lebih dalam.
Aku tak ingin menggurui seseorang dengan tulisanku ini tapi yang pasti aku hanya ingin berbagi pengalaman yang dulu aku miliki. Sewaktu SMA dulu, tepatnya ketika aku duduk di kelas dua SMA. Disinilah sifat kedewasaan aku benar-benar diuji. Sebenarnya aku tak ingin menguak rasa sakit ini yang mampu membawaku semakin dekat dengan ilahi. Entah itu perasaanku saja.  Tapi yang jelas aku rindu masa-masa itu.
Ketika itu asrama Unggulan ingin mengadakan pemilihan kepala asrama untuk putri dan putra. Lantas saja aku ingin berpartisipasi di dalamnya. Awalnya aku dan Yuri, sahabat karibku sudah sepakat sebelumnya untuk bekerja sama mencalonkan diri sebagai kepala dan wakil asrama putri. Tapi di akhir pemilihan pasangan, kami terpisah. Sebenarnya aku sedih banget rencana yang kami buat tergagalkan. Tapi ya sudahlah. Kalau memang itu bukan terbaik untukku, aku ikhlas menerimanya dan membiarkan Yuri dengan wakil yang lain. Disitulah aku belajar untuk ikhlas. Segala macam puisi keikhlasan pun aku buat waktu itu. Hanya sekedar untuk menghibur perasaanku semata. Semakin hari, kekecewaan dan kesedihanku pun terobati.
Nah ni dia sekmen yang paling aku tunggu-tunggu. Menceritakan tentang seseorang yang pernah ada di hatiku. Waduh.. aku gak tahu harus menulis apa. Mungkin pembaca bingung dengan tulisanku. Tapi tenang, baca sajalah. Nanti juga pasti akan mengerti kearah mana pembicaraan ini melebar. Hahaha…
“Meh, anti ta’rif iza ___laqod ma’a insan akhor? (Meh, dirimu tahu kalau___dah sama orang lain” kata Ovie di ruang tempat wudhu
Rasanya hatiku bergetar kencang saat itu. Tapi aku mencoba untuk menahan segala apa yang ada di hatiku.
“owh. ‘araftu (Owh, aku tau)” jawabku singkat
“Huwa ma’a insan atletik. Hiya sanah tsalisah. (dia sama anak atletik. Kelas tiga anak itu)” sambung Ovie menjelaskan. Jujur aja, hatiku hancur waktu itu. Hahahaha.. tapi aku coba sok tegar di hadapannya. Dan saat itu pula aku mencoba menghapus bayangannya dari semua kehidupanku. Alhamdulillah, ketika itu Allah lah yang membantu aku untuk melupakannya. Aku sadar aku tak punya hak apapun atas diri orang yang aku cinta waktu itu. Jadi kesadaran itu cukup membuat aku lupa dengan dirinya. Mulai saat itu, aku mencoba mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mencoba benar-benar bergantung dengan-Nya. Lagi-lagi Alhamdulillah harus selalu aku ucapkan karena tepat beberapa bulan kedepan, dia lenyap dari otakku, dan saat itu pula aku semakin fokus dengan tugasku sebagai pelajar waktu itu. Nah, tepat pada akhir semester ganjil, aku mendapat juara di kelas. Alhamdulillah. Rasanya aku senang sekali, aku kembali bisa menunjukkan kemampuanku kepada orang-orang yang kucinta, salah satunya ayahku. Akhirnya aku bisa membuat beliau tersenyum bangga terhadapku.
Sebenarnya kebahagian adalah ujian. Allah menguji keimananku lagi. Ketika liburan di rumah. Orang yang pernah aku cintai dulu, datang lagi kehadapanku. Ia hadir kembali dan membuktikan bahwa gossip selama ini tentang dia jadian adalah salah. Dan dengan lugunya, aku percaya dengan apa yang ia bilang. Hahaha.. tapi memang apa yang ia bilang itu benar semua! Bukan karena cinta, aku percaya padanya. Hahahahay…. Akhirnya aku menerima cintanya.. cuit…cuit….hihihi.
Nah, disinilah keimanan aku diuji. Semakin lama cintaku dengan orang yang sebenarnya bukan halal untukku semakin besar. Lambat laun ibadahku menurun. Asyik dia-dia saja yang aku pikirkan. Maklumlah waktu itu baru pertama kalinya aku jadian. Hiihih… nilai semester duaku pun anjlok. Tapi waktu itu aku tak sadar dengan rasa cinta yang menzolimiku. Akhirnya Allah menegurku. Hubungan yang kami rajut kandas tepat di usianya yang ke Sembilan bulan. Gak ada hujan. Gak ada petir, kami putus. Alhamdulillah.. seharusnya itu yang aku ucapkan. Hmhmhmhm… lambat laun aku sadar dengan keputusannya. “Terima Kasih telah menyadarkanku my mantan” wkwkwkwkwkwk… walaupun demikian aku tak pernah membencinya. Justru aku sangat berterima kasih karena ia telah menyadarkanku tentang cinta yang salah selama ini. Aku juga bersyukur karena selama aku berpacaran dengannya ia tak pernah mengajakku ke hal-hal negative. Aku bangga padanya. “Semoga kelak kau dapatkan pengganti yang lebih baik daripada aku” itulah harapanku.
Dua kejadian itu sungguh membuat aku semakin sadar dengan kesalahanku. Karena itu, di perkuliahan ini, aku gak ingin membiarkan hatiku jatuh dalam lembah cinta yang begitu dalam. Aku hanya ingin jatuh di lembah cinta yang dangkal saja. Apa bedanya? Hahhaha…. Kejadian ini memberiku banyak pelajaran. Aku harus semakin yakin dengan scenario ilahi. Dia adalah scenario terhebat sepanjang masa. Dewasalah kawan! Ambillah pelajaran dari hidupmu dan hidup orang lain. Semangat

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^