Tinggal pilih entri yang kamu suka

Wednesday, January 30, 2013

KARENA DALAM CINTA ADA SAYANG

Matamu bulat. Seperti bola pimpong tapi ini lebih kecil lagi. Aku suka melihat matamu menatap lekat mataku. Saat-saat dimana kau selalu mencurahkan setiap keluhanmu. Aku suka tatapan seperti itu walau aku sama sekali tak suka mendengar keluhmu. Lagi-lagi aku harus menenangkanmu, menghapus setiap lirih di batinmu. Aku senang bisa membantumu. Tapi sepertinya sekarang aku tidak bisa mendengar keluhmu lagi karena kau selalu menghadirkan wajah ceria dan senang di hadapanku. Entah itu hanya sebuah sandiwara saja.

Kau berubah. Aku bingung melihatmu. Kau seperti bersandiwara saat ini. Terlihat senang namun sakit di dalam. Belakangan ini kau tak menegurku lagi. Pernah sesekali aku menyapamu, tapi kau hanya balas dengan ritme sedingin mungkin, “Iya. Ada apa Dafa?”. Aku hanya bisa tersenyum ketika kau menjawab seperti itu. Ingin rasanya aku menghancurkan suasana dingin ini tapi kau selalu saja menggagalkannya. Kau selalu punya alasan untuk pergi. Kau bilang kau ada kelaslah, atau kau sibuk dengan bisnismu sekarang. Lambat laun akhirnya aku mengerti mungkin kau sedikit kecewa denganku. Aku yang sekarang ini sudah menyandang sebagai kekasihmu.

Beberapa waktu lalu aku mengangkat telponmu. Kudengar dari arah sana kau bertanya tentang dimana keberadaanku. Sebenarnya aku sudah menjawab, namun kau balas dengan, “Apa? Aku tidak bisa mendengar suaramu”. Aku tahu itu. Waktu itu aku sedang berada di jalan sambil mengendarai motor yang dulu amat sering kau duduki. Mustahil jika kau mendengar jelas suaraku. Aku langsung memberhentikan motorku di pinggir jalan tapi kau telah menutup telponnya. Aku ingin menelponmu lagi tapi sayang aku tak punya banyak pulsa. Kurasa kau cukup memaklumiku tentang itu.

Malam sudah semakin larut. Aku sulit memejamkan mata. Entahlah. Aku ingin mengirim sms selamat malam untukmu. Tapi lagi-lagi kau harus memaklumiku. Rasanya aku bukanlah pria yang kau idamkan. Aku tak memiliki apa-apa. Yang kumiliki hanya sebongkah kasih sayang. Itu pun kalau kau sendiri percaya bahwa aku menyayangimu.

Hapeku berdering. Ternyata kau yang menelpon. Aku langsung mengangkatnya. Dari sana, kau melontarkan salam yang terdengar lembut di telingaku. Aku jawab salam itu tak kalah lembutnya. Suaramu sangat jelas kukenal. Walau kau terus-terusan mengganti nomor saat menelponku. Malam ini kau menanyaiku tentang siapa gadis yang kubonceng tadi siang. Kau bilang kau melihatku dari atas sana bersama seorang gadis. Salahnya aku dan gadis itu terlihat akrab. Makanya kau kelihatan ngotot ingin tahu.

“Apa kau cemburu?” tanyaku dengan tempo agak lambat. Kau terdiam. Kau seperti kehilangan kata-kata. Lalu aku bertanya sekali lagi dengan pertanyaan yang sama. “Iya” jawabmu singkat tapi aku rasa kau tidak benar-benar cemburu.

“Mengapa kau bisa cemburu? Apa itu karena cinta?” tanyaku sedikit yakin agar aku tahu kalau kau sebenarnya memang benar-benar cemburu. Aku harap begitu.

“Kan sudah kubilang sejak awal. Kalau aku sudah punya hubungan dengan seseorang, pasti hanya orang itu aja yang ada di dalam hatiku. Enggak ada yang lain. Jadi jangan buatku seperti ini. Aku bukannya cemburu kau bersama orang lain tapi aku cuma takut kau mainin. Hanya itu. Jadi siapa perempuan itu?” jelasmu dengan nada yang berubah. Nadanya berbeda dengan sebelumnya, lebih tinggi.

“Dia itu teman dekatku. Udah?” aku sedikit emosi.

“Aku juga sudah bilang dari awal kalau jangan pakai cinta tapi pakai sayang. Kalau pakai sayang pasti kau tidak akan seperti ini. Cinta itu sangat menyakitkan” jawabku enggak mau kalah. Aku berusaha memberitahumu definisi dan perbedaan antara cinta dan sayang.

Kau hanya terdiam. Aku rasa kediamanmu itu pertanda kalau kau tak setuju denganku. Karena memang sejak awal kau selalu membanggakan cinta, bukan kasih sayang. Kau bilang kasih sayang itu hanya milik seorang ibu kepada anaknya dan Tuhan kepada hambanya. Lagi-lagi kau benar tentang definisi sayang yang tersirat tapi kau salah karena bukan hanya ibu dan Tuhan yang memiliki kasih sayang. Aku juga memilikinya. Aku sayang kamu.

“Boleh aku bertanya?” aku meminta izin padamu agar kau tak diam seperti ini. Aku tak suka melihatmu diam. Karena diam hanya menimbulkan spekulasiku yang aneh-aneh. Lebih baik kau melontarkan segala yang tidak kau suka terhadapku.

“Apa?”

“Kemarin Dedi menembakmu kan? Waktu itu kan aku sudah bilang kalau semua keputusan hanya ada padamu. Aku ikhlas kalau kau menerima Dedi,” ungkapku. Aku berharap kali ini kau mengucapkan sepatah kata mengapa kau bisa menerimaku. Tapi nyatanya aku hanya mendengar suara oksigen yang kau hirup dari telpon seluler ini.

“Dulu derajat aku dan Dedi sama kan? Sama-sama temanmu kan?”

“Iya”

“Jadi sekarang derajat aku dan Dedi beda kan? Mana yang lebih tinggi derajatnya? Aku atau Dedi?

“Kau”

“Lalu mana yang lebih menyakitkan. Aku atau Dedi?”

“Kau,” kau jawab dengan jawaban yang sama. Aku sudah bisa menebak itu sebelumnya.

“Terus, mana yang lebih bisa membuatmu bahagia? Aku atau Dedi?”

“Kau,” jawabanmu sangat sulit aku mengerti.

 Jawaban terakhirmu kurang masuk akal. Seharusnya Dedi yang bisa membuatmu bahagia, bukan aku. Karena aku sudah menyakitimu. Seharusnya begitu. Tapi kau sanggah pernyataanku. Kau jawab, “Perasaan enggak bisa dijawab dengan logika, Daf!”. Kini aku yang malah diam.

Suasana kembali seperti semula seperti saat pertama kalinya aku mengejarmu. Saat pertama kalinya aku bersungguh-sungguh untuk mendekatimu. Kau tidak segalak seperti tadi. Aku suka suasana ini. Dengan lantangnya aku menjelaskan lagi definisi cinta dan sayang. Sudah berulang-ulang kali aku menjelaskan bahwa sayang itu indah. Untuk menjalin hubungan seperti pacaran, kita tak butuh cinta. Lalu kau tanya lagi. Pertanyaan ini justru membuatku bingung. Aku tak tahu harus menjawab apa.

“Apa sayang itu bisa memudar? Atau sayang itu bisa hilang?”

 Kali ini aku butuh banyak pengalaman. Aku sendiri tidak yakin kalau sayang ini akan bertahan lama. Tapi untuk seorang gadis yang rela menelponku ini, aku berani jamin kalau sayang ini tidak akan memudar.

“Sayang ini tidak akan pernah memudar. Bahkan ia terus bertambah setiap harinya. Sama seperti kita punya seorang tante. Tante kita akan terus menyayangi kita walaupun adik kita sudah lahir. Sayang itu tidak akan berpindah dari kita ke adik kita tapi malah sayangnya pada kita semakin bertambah. Tante kita juga sayang dengan adik kita. Semakin besar kita maka sayang itu semakin bertambah besar pula,” aku menjawab dengan analogi yang cukup sederhana supaya kau mengerti dan memuliakan kasih sayang. Mendengar itu kau malah tertawa.

“Berarti kau ingin berpoligami” sambungmu lekas sehabis tertawa tadi.

Aku hening. Lambat laun suaramu menghilang. Telpon sudah terputus. Itu terakhir kalinya aku mendengar suaramu dengan bahasan dari hati ke hati seperti ini. Setelah itu kau menjauh.

###

Beberapa hari ini setelah kejadian itu kau semakin berbeda. Kau tidak pernah lagi membahas tentang hubungan kita. Kita bukan seperti sepasang kekasih lagi tapi entahlah. Jika kau marah denganku karena aku membawa seorang gadis, kau boleh memakiku tapi tidak untuk mendiamiku seperti ini. Kau membuatku semakin bingung. Kau selalu menyunggingkan senyum dimanapun kau berada. Kau terlihat semakin cantik dengan senyumanmu itu. Karaktermu di depanku juga jauh berbeda. Saat pertama kalinya kau menerimaku, kau jadi salah tingkah setiap kali bertemu denganku atau setiap kali kuajak bicara. Kau selalu menunduk padahal aku ingin sekali menatap mata bulatmu itu lebih lama makanya aku sangat sering mengajakmu ngobrol bersama walau kau selalu menolak. Aku tahu, kau salah tingkah. Sebab, rasa itu sudah berbeda sekarang. Yang dulunya kita berteman akrab kini malah kita menjadi sepasang kekasih. Sayangnya, salah tingkahmu itu sudah hilang sekarang. Mungkin kau sudah terbiasa atau mungkin cintamu sudah pudar padaku. Aku berharap intensitas pertemuan kita yang semakin sering membuatmu terbiasa dan tak salah tingkah lagi. Nyatanya itu hanya sebuah pikiranku saja. Orang-orang yang tak tahu hubungan tentang kita malah bilang kau jatuh cinta dengan Indra, teman sekelasmu yang dulu selalu kau ceritakan padaku sewaktu kita masih berteman. Aku masih ingat alur cerita antara kau dan dia. Aku masih ingat hari apa dan tanggal berapa kau pernah meneteskan air mata untuknya. Waktu itu dia marah padamu hanya karena kau tidak mau menceritakan masalahmu padanya. Ia memarahimu bahkan ia tak mau memaafkanmu selamanya. Saat itu aku masih bisa melihat getaran dahsyat di bibir imutmu itu. Kau panik. Kau berusaha menelponnya tapi ia sama sekali tidak mau mengangkatnya. Kau menunggunya sejak pagi agar ia datang dan kau dengan leluasa mengemis-ngemis maaf darinya. Namun, ia tak kunjung datang. Satu yang bisa kuambil kesimpulan tentang masalahmu adalah ia sangat mencintaimu bukan menyayangimu makanya ia bisa bertindak seperti ini, memaki-makimu. Sayangnya aku tak ingin memberitahumu tentang kesimpulan itu. Aku takut kau dan dia bersama. Ini bukan sebuah kecemburuan tapi ini sebuah kasih sayang. Aku tidak ingin ia dapat meraihmu. Karena kau sepantasnya hanya untukku. Aku yang berhak menjagamu.

Aku rasa perkataan orang-orang tentang kau dan dia ada benarnya. Karena gerak-gerikmu mendukung perkiraan-perkiraan yang ada. Pernah kudengar kau sedang bercerita tentang Indra dengan Ratna, teman sekelasku. Tapi yang kudengar hanya samar-samar. Kurasa itu kisah masa lalu yang juga kau pernah ceritakan padaku satu tahun yang lalu. Aku anggap itu hanya angin lalu. Kalaupun salah, aku berharap kau sedang menguji kasih sayangku. Kau berusaha membuatku cemburu. Lalu malamnya aku menelponmu dan bertanya tentang hubunganmu dengan Indra. Seperti itu kan yang kau mau? Aku adalah lelaki yang memegang erat omonganku. Meskipun kenyataannya benar aku cemburu, aku tetap berpura-pura tidak cemburu dan tidak mendengar apapun tentang hubungan kalian. Aku berusaha tidak tahu di depanmu.

Semakin hari ternyata aku semakin tahu kalau aku salah setelah aku mendengar semuanya dari Bang Hasyim, teman dekat aku dan Ilma. Ilma tidak benar-benar mencintaiku. Ia masih berada dalam bayang-bayang Indra. Entahlah. Atau mungkin Indra yang masih saja membayangi kehidupan Ilma hingga Ilma semakin kokoh berada di dekatnya. Kemungkinan yang lebih besar lagi kalau mereka memang saling bayang-membayangi. Mereka masih saling membutuhkan. Sekali lagi aku benar-benar salah.

###

Aku salah dan kau Ilma, kau benar. Kini hanya kata maaf yang terucap. Maaf jika aku pernah menyakitimu. Tanpa kusadari kau sudah tahu sejak lama tentang hubunganku dengan Syifa, teman sekelasku juga. Aku tidak tahu siapa yang telah memberitahu tentang itu. Tapi seandainya aku tahu siapa maka aku akan banyak-banyak mengucapkan beribu terimakasih karena telah menyadarkanku dengan kepergianmu. Aku jadi semakin tahu arti kehilangan. Awalnya aku tidak pernah terpikir untuk menduakanmu. Aku hanya ingin mengembangkan sayap-sayap kasih sayang ini, tapi nyatanya aku gagal. Makanya aku tidak bisa menjelaskan denganmu hubungan antara kasih sayang dan poligami waktu itu. Aku lega ketika itu telpon terputus.

Aku mengira kau salah karena telah mengandalkan cinta. Tapi pada kenyataannya aku yang salah karena aku telah mengotori sayang. Aku tidak perlu mengajarimu lagi arti kata sayang karena sebenarnya dalam cinta itulah ada sayang. Tapi sayang selalu tidak memiliki cinta hingga akhirnya sayang ini semena-mena. Izikanku mengatakan bahwa kali ini kau juga salah karena ibu dan Tuhan sebenarnya juga memiliki cinta.


 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^