Every second of it...
Untukmu malaikat berkuda putih yang kuanggap sebagai
Hujan
Hujan, sejak awal aku tak punya alasan mengapa menamaimu
Hujan, padahal aku sama sekali tak menyukai hujan. Aku masih ingat saat-saat
aku masih kelas dua SD. Hujan di pagi hari membuatku tak bisa pergi ke sekolah.
Hujan di malam hari membuat tanah-tanah becek dan kotor yang akhirnya
menyisakan tanah-tanah liat basah menempel di sepatuku. Bahkan aku pernah
merengut dari balik jendela kamar menatap hujan menyudut di balik senja.
Hujan
masih menyisa hingga akhirnya klimaks hujan menyebabkan banjir di akhir tahun
2006. Hujan... bagaimana jika saat ini aku sedikit menyukaimu? Atau banyak? Aku
berharap kau tidak diam saja. Aku ingin menari-nari di atas tanah basah bersama
derasnya Hujan hingga basah kuyup, seperti dulu. Indah kurasa. Penat ini
berubah.
Terkadang Hujan mengingatkanku pada sang penciptanya
bahwa cinta kepadanya bukanlah sesuatu yang abadi. Ya, aku mengerti. Setidaknya
Hujan mampu menghapus panas selama dua tahun berturut-turut. Dulu aku memilih
Matahari, meyukai panas. Katamu juga Matahari itu tak baik untukku. Panasnya
bukan melambangkan cinta,”Bukan seperti itu yang dinamakan cinta!” kata Hujan
sebelum ia turun dalam sanubariku. Lalu aku benar-benar kecewa pada Hujan yang
menjatuhkan Matahari di hadapanku. Jika itu bukanlah cinta Matahari, lalu cinta
Hujan seperti apa? Bisakah kau jelaskan sedikit saja padaku maka aku akan
mengerti walau aku harus mengkajimu beberapa malam, seperti saat aku mengkaji
mata kuliah untuk persiapan ujian.
Hujan, aku memang sebatang pohon angkuh di hadapanmu yang
sama sekali tak peduli siapa kau saat ini.
Kau tahu mengapa aku lebih memilih menjadi pohon? Itu karena aku tak mau
menjadi bunga. Aku tahu Hujan menyukai bunga. Bunga itu indah, anggun, berseri
dan makhluk hidup sempurna untukmu. Dan aku hanya sebatang pohon yang berusaha
menjaga dedaunan agar tak jatuh ditiup angin dan merelakan setiap dedaunan yang
jatuh jika saatnya tiba. Tapi setidaknya aku berusaha menjadikan setiap kayuku berguna
bagi makhluk hidup lain. Hujan, aku tak pernah berharap kau membasahiku saja.
Aku bahagia jika kau membasahi mawar-mawar lain karena itulah tugasmu. Berusaha
memberikan kehidupan untuk makhluk hidup lain.
Aku menikmati setiap rasa yang mengharu biru di dadaku.
Setiap sentimeter tetesanmu selalu menjadikan itu berarti untuk kehidupanku.
Kini aku tengah mempelajarinya. Mempelajari cinta yang kau maksud. Cinta itu
sama saja dengan memberikan kehidupan dan kuanggap cinta ini seperti ‘hujan’. Terkadang hujan itu deras hingga aku tak sanggup
membendungnya, namun ia juga
seperti gerimis, begitu pelan dan hati-hati
membasahi tanah dan pohon tapi walaupun begitu hujan
memberikan kehidupan.
Untuk saat ini
terimakasih Hujan, tetaplah membasahi semua makhluk hidup yang akhirnya kau
harus memilih satu diantara miliyaran makhluk hidup.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^