Tinggal pilih entri yang kamu suka

Friday, March 29, 2013

Sang Pengobat Cinta



Tadi malam Satria mengatakan cinta padaku lewat sms. Aghh, entah apa maksud anak itu. Rasanya ingin sekali aku akhiri teka-teki ini. Dulu sewaktu semester satu, aku dan dia sempat tak teguran. Bukan aku yang mengawalinya, tapi dia. Akhirnya di akhir semester, dia sendiri yang minta maaf kepadaku. Dia bilang kalau wajahku mirip mantan pacarnya. Jadi setiap kali dia melihatku, dia jadi ingat dengan mantannya. Satu hal yang paling tak bisa aku terima dari dia, dia benci dengan mantannya dan melampiaskan kebencian itu dengan tidak bersosialisasi denganku. Yah, aku maklumi saja dia.
Semoga apa yang dia katakan waktu itu, bukan menjadi modus untuk mendekatiku. Bagiku, dia adalah lelaki yang cukup aneh yang pernah kukenal. Pertanyaan yang ada di benakku sekarang adalah apa yang sebenarnya dia inginkan dariku? Kenapa semua ini terjadi sama aku? Apa dia benar-benar mencintaiku? Kalau itu benar, apa aku juga mencintainya? Aghhh.. sudahlah! Besok, aku punya siasat jitu untuk tidak menegurnya. Aku ingin menjauhinya sebelum rasa ini begitu dalam.
###
“Mah, kok gak jadi kamu bilang ke teman kita satu kelas kalau aku bilang cinta sama kamu tadi malam?” cetus Satria kepadaku ketika aku berjalan di depannya dengan Ratna, teman sekelas kami juga.
Huft, dasar Satria, tak tahu malu. Tadi malam aku memang mau bilang kalau Satria bilang cinta sama aku ke teman-teman lewat sms, tapi itu hanya gertakanku saja. Mana mungkin aku melakukannya. Sungguh memalukan kurasa. Tak pantas untuk diceritakan.
“Ngapain pula aku bilang! Kurang kerjaan tau!” sambungku asal dan menjauhinya.
Kami memasuki kelas. Aku dan Ratna duduk di kursi paling depan, sedangkan Satria duduk di pojok. Hanya ada aku, Satria dan Ratna di kelas itu. Selang beberapa menit, Ratna keluar kelas menyusul teman sekelasku yang masih berada di bawah.
“Mah” sapa Satria dengan suara yang cukup parau.
Aku diam sejenak dan berusaha tidak mendengar panggilan itu.
“Mah” lagi-lagi Satria memanggilku dengan lirih.
“Apa?” jawabku cuek dan menoleh ke arahnya.
“Sakitku kumat lagi la Mah” rintih Satria.
Apa? Sakit? Satria sakit. Kuhampiri ia.
“Duduk sini kenapa Mah” pinta Satria dan menggeser satu kursi tepat di depannya. Kuturuti saja. Aku masih penasaran dengan penyakitnya. Apa dia pura-pura sakit? Aghh
“Tadi malam penyakitku kumat lagi” kata Satria.
Aku diam saja dan menatapnya dalam-dalam. Satria terus saja bercerita tentang penyakitnya. Ternyata Satria pernah mengidap penyakit tumor otak dan sewaktu tumornya diambil, ada saraf yang tersentuh. Itu yang membuatnya sakit. Satria juga menyuruhku untuk membeli lima bungkus roti yang tebal dan dua gelas air putih jika ia sesak nafas. Aku hanya mengangguk saja.
Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca menatap Satria. Aku langsung sedih. Entah perasaan apa ini. Semakin lama kondisi Satria semakin memprihatinkan. Dengan sigap dan hampir berderai air mata, aku menjalani amanah Satria tadi. Aku langsung menuju lantai bawah dan berlari-lari ke koperasi hanya untuk mencari roti. Jujur, aku ingin menangis menatap tangan Satria gemetaran tadi. Beribu-ribu doa kupanjatkan sepanjang jalan menuju koperasi. Aku berharap dia cepat sembuh. Ini bentuk rasa sayangku padamu Satria.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^