Satu persatu tetesan air jatuh
di sudut kelopak matanya. Ia menggenggam perutnya yang semakin membesar seiring
berjalannya waktu. Wajahnya peluh, penuh keluh kesah menanti seseorang di ujung
sana untuk kembali dan bersedia melontarkan janji setia di hadapan tuhan. Ia
menyandarkan tubuhnya di depan pintu yang tengah terbuka, menatap lalu lalang
setiap orang yang berjalan. Mereka menatap sinis padanya. Bahkan saat
melewatinya seseorang sengaja berludah. Tapi wanita itu tetap sabar dalam diam
sambil sesekali mengelus perutnya.
“Ini pelajaran bagimu,” sahut
makhluk tak berwujud itu membisikkan telinganya.
“Untuk apa kau merayunya waktu
itu. Lihatlah, kau sendiri yang celaka. Masa depanmu hancur tak bersisa
sedikitpun bahkan kau dikucilkan orang-orang di luar sana,” sambungnya lagi.
Wanita itu menangis
tersedu-sedu, lalu berjalan menuju kamar.
“Sekarang, mana pria yang kau
cintai itu? Dia tidak ada di sisimu lagi kan. Kan sudah kubilang dari awal dia
tidak pernah mencintaimu. Lalu mengapa kau tega merayunya dan memberinya
mahkota cintamu?” bisikan itu tiada henti-hentinya bicara. Wanita itu kian
menangis terisak-isak, berjalan pelan-pelan ke meja riasnya, mengambil pot
bunga kaca di depan cermin lalu seketika melagakan pot bunga dengan kaca yang
berukuran 50x70 cm itu. Kaca pecah menimbulkan suara. Namun tak ada seorang pun
yang mendengarnya. Di luar sana mereka sedang asyik bersenda gurau, tertawa
manis, saing bercerita. Tak ada siapapun yang peduli. Kini ia sendiri.
Ia memandangi satu persatu
serpihan kaca, memilih salah satu serpihan kaca yang besar nan runcing dan
mengambilnya. Lalu ia tersenyum, entah berapa kali ia menghirup oksigen lalu
melampiaskan segala kesalahannya. Ia mendekatkan serpihan itu ke nadinya,
hingga akhirnya darah segar mengucur tanpa jeda. Dia masih tersenyum.
###
“Rafa, mengapa tidak mengangkat
telponku tadi pagi?” tanya seorang wanita berjilbab yang datang menghampiri
meja pria tinggi berbadan atletis. Namanya Nayla.
“Bukan urusanmu,” jawab lelaki
yang dipanggil Rafa tadi. Ia sengaja bangkit dari tempat duduk dan menjauhi
Nayla.
Nayla bingung. Hari ini sifat
Rafa berubah. Bagi Nayla, Rafa bukanlah sekedar teman, tapi bahkan lebih dari
teman. Bukan pacar juga karena sampai sekarang, mereka tidak ada yang
benar-benar mengungkapkan rasa itu. Walaupun dalam hati kedua saling mencintai
dan membutuhkan. Bagi sebagian orang, makna “cinta tak harus memiliki” tidak
sepenuhnya melapangkan hati. Ada rasa ingin di dalamnya. Begitu juga dengan
mereka, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk hidup dalam kata-kata
persahabatan. Ini bukan kesepakatan, tapi hanya sebuah ungkapan hati
masing-masing yang sama sekali tidak diketahui. Rafa dan Nayla saling tidak
tahu. Yang mereka tahu hanya sebuah kenyamanan saat bersama. Untuk mengungkapkan rasa yang benar-benar
ada, pria selalu gugup di hadapan wanita, ikrar Rafa dalam hati saat mereka
berada dalam satu waktu dan tempat yang sama.
Nayla berjalan berusaha
mendahului langkah Rafa. Tapi tetap saja Rafa yang selalu berada di depan. Pria
memiliki langkah yang lebih besar dari wanita.
“Rafa,” teriak Nayla dari jarak
beberapa meter.
“Kau kenapa? Ada masalah?
semalam dirimu masih baik-baik aja. Kalau ada masalah bicarala sama aku,”
sambungnya lagi dan Rafa masih asyik dengan langkah-langkahnya.
Nayla berhenti mengejar. Ia
memutar badan dan berjalan yang arahnya berbeda dengan Rafa. Nayla memasuki
kelas. Lalu sedikit demi sedikit berusaha tersenyum.
Nayla tahu kalau ini bukan yang
pertama kali terjadi. Rafa juga pernah diam-diaman seperti ini kalau lagi
marah. Nayla masih ingat, setahun yang lalu Rafa pernah selama satu bulan tidak
menegur Nayla. Tidak mengirimi sms, ataupun nelpon karena waktu itu Nayla tidak
sengaja berkata kasar dan meyakinkan dirinya bahwa tanpa Rafa, ia akan
baik-baik saja. Saat itu Rafa diselimuti rasa amarah yang sangat dalam, membara
bagai api yang menyala-nyala dan siap membakar siapapun yang ada di dekatnya.
Ia memarahi Nayla dan berjanji tidak akan memaafkannya. Tapi lagi-lagi Tuhan
maha baik. Mungkin tuhan sengaja menitipkan Nayla untuk Rafa atau Rafa untuk
Nayla. Rafa dengan sendirinya minta maaf pada Nayla dan Nayla terharu sampai ia
meneteskan air mata untuk Rafa. Setelah kejadian itu, mereka sadar bahwa tidak
ada sesuatu yang indah selain kehidupan mereka bersama. Rasanya hidup ini
terlalu sulit untuk dijalankan masing-masing. Hari demi hari, bulan demi bulan
bahkan tahun demi tahun, ada perasaan yang muncul begitu saja dalam diri
mereka. Jika mereka melihat satu sama lain, mereka seperti melihat diri mereka
di cermin. Rafa tahu segalanya tentang Nayla, Nayla juga tahu segalanya tentang
Rafa. Apa mungkin ini jodoh?, Nayla
pernah bertanya dalam dirinya tentang itu.
“Mengapa ketika melihatmu, aku
merasa melihat diriku sendiri?” ujar Rafa pelan bahkan seperti berbisik padahal
kalaupun suaranya besar, Nayla menjamin tidak ada yang peduli dengan percakapan
mereka saat ini. Semua orang tengah sibuk berlalu lalang.
“Katanya...” Nayla menghentikan
ucapannya lalu sejenak berpikir. Ia bingung harus berkata apa lagi. Lalu dengan
sengaja Rafa tersenyum di hadapan kerumunan rumput itu. Dan Nayla sibuk
mengotak-ngatik kata-kata di pikirannya.
“Mungkin dalam diriku, ada kamu
Raf. Atau mungkin Tuhan sengaja menciptakan aku dari tulang rusukmu,” Nayla
tersenyum manis.
“Bukan tulang rusuk Nay, tapi
kau itu tulang belakangku,” Rafa menangkis pernyataannya.
Nayla menyeritkan dahi, “Tulang
punggung? Maksudnya?”
“Manusia tidak akan bisa hidup
tanpa tulang punggung. Tulang punggung itu menopang badan manusia untuk tetap
kokoh berdiri, duduk bahkan berbaring. Tulang punggung itu sangat penting,”
jelas Rafa sementara Nayla masih hanyut dalam makna tulang punggung.
“Apa setelah tamat kuliah
nanti, kamu mau menikah denganku?” sambung Rafa lagi. Sehabis bicara tadi
bibirnya gemetaran.
Nayla tersenyum, “Aku belum
bisa bilang ‘iya’ atau ‘tidak’ karena segala apa yang ada di bumi adalah
urusan-Nya. Jika Dia menginginkan kita bersama suatu hari nanti, pastilah
takdir kita menyatu lebih dari saat ini”. Sesaat kemudian langit bergemuruh,
lalu satu persatu hujan turun membasahi tiap sentimeter bumi ini. Mungkin itu
hujan dari pertanda rahmat Allah.
###
“Apa kamu sudah tahu
segalanya?” sapa Rafa yang sekarang tengah tidak sanggup menatap wajah sendu
Nayla. Nayla hanya mengangguk pelan.
“Mengapa kau melakukan ini padaku?”
sambungnya lagi sambil tak sanggup menahan air mata yang ingin segera tumpah.
“Maafkan aku. Aku tidak
sengaja. Dia yang merayuku,” ujar Rafa pelan.
Nayla masih tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Tidak ada tatapan penghakiman dimatanya.
“Lalu aku harus bagaimana?”
sambung Rafa lagi karena melihat Nayla yang terdiam kaku.
“Menikahlah dengannya. Kasian
dia,” ujarnya tanpa menatap mata Rafa.
“Tidak! Aku tidak bisa” ketus
Rafa tiba-tiba tanpa memikirkan jawaban yang tepat.
“Jika tidak maka selamanya kau
akan kehilanganku. Selamanya,” Nayla mengancam.
Rafa masih terdiam. Selang
beberapa menit, ia mengangguk dan perlahan berkata, “Aku tidak ingin
kehilanganmu, karena kamu adalah tulang punggungku,”.
Seketika mereka hanyut dalam
tangis, menangisi takdir yang tidak menyatukan mereka. Dalam hati Nayla sama
sekali tidak ada penghakiman untuk Rafa ataupun wanita itu. Hatinya masih
mengemis pada Tuhan bahwa saat ini hanya mimpi dan sekarang ia memohon pada
tuhan untuk segera membangunkannya dari mimpi panjang ini. Rafa juga begitu,
rasa sesak di dadanya semakin kencang terasa saat ia menyadari bahwa sebentar
lagi ada jarak yang memisahkan mereka. Ia takut kalau ia dan Nayla tidak bisa
berada dalam ruang dan waktu yang sama. Tertawa bersama, bersedih bersama. Entahlah.
Hari itu semakin dekat, setelah nyawa Sarah terselamatkan dan janji itu
terucap, segalanya kian berubah. Mentari tidak selamanya menghangatkan bumi
untuk Rafa dan Nayla.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^