Tinggal pilih entri yang kamu suka

Friday, May 24, 2013

Sekelumit Kisah Mata Itu


Waktu itu hari perpulanganku yang pertama kalinya dari pesantren. Menginjakkan kaki kembali ke kampung halaman yang sudah tiga bulan aku tinggalkan. Ramadhan kali ini berbeda, aku nyaris menutup seluruh tubuh ini dengan pakaian panjang dan jilbab ketika keluar rumah, melayani pembeli di kios kecil kami, menyapu halaman, mengambil pakaian di jemuran. Rasanya sudah tidak enak, jika harus keluar rumah tanpa jilbab. Sehabis salat magrib, kami sekeluarga makan bersama.
Ayah sering kali memutarkan semua mimpi-mimpinya. Katanya beliau ingin melihatku sukses, kuliah, bergelar sarjana, dan banyak lagi. Ibuku hanya mengangguk. Dan abangku, Ari hanya terdiam. Maklum ayah begitu banyak berharap padaku. Aku juga berbagi pengalaman tentang teman-teman di pesantren, tentang Ustazah Aisyah yang terus memotivasiku berjilbab. Yang kuingat tentang Ustazah Aisyah waktu itu, beliau suka memutar lagu islami seperti lagu Maidani, Opick, Raihan, dan banyak lagi. Beliau juga sering sekali bercerita tentang rakyat Palestina yang dijajah habis-habisan oleh Israel. Setidaknya aku jadi tahu sedikit tentang Zionis.
“Rupanya Mak, setiap satu (entah 100, maaf lupa) rupiah kita sumbangkan untuk Israel menyerang Palestina kalau kita beli produk-produk mereka. Dan sayangnya, rata-rata semuanya yang kita pakai milik mereka,” ungkapku tak kalah semangatnya. Ibuku sangat antusias mendengar semuanya. Perlahan hanya empat huruf yang keluar dari bibirnya, “Nurul beruntung masuk pesantren,”. Ibuku tersenyum manis. Aku rasa mungkin beliau sedang mengingat saat pertama kalinya aku masuk pesantren. Aku nangis-nangis di kamar mandi.
Sebelum Isya mulai, satu-persatu teman-teman abangku datang ke rumah. Terakhir kali aku melihat mereka ketika masih kelas tiga SMP, sebelum masuk pesantren. Kawan-kawan abangku yang kukenal dan datang ke rumah waktu itu hanya Bang Deni, Bang Dani, Bang Ipan, Bang Andre dan Bang Jimi.
Bintang...
Saat itulah aku bisa menatap mata seseorang yang tulus segan ketika matanya menatapku. Aku sudah berjilbab. Dia Bang Dani.
Malam itu dia begitu cepat meninggalkan rumah kami dan duduk di luar. Katanya dia segan sama aku. Mendengar cerita itu dari Bang Deni, aku tersenyum. Aku bingung dengan keseganannya padahal sewaktu aku masih SMP dulu, dia sering datang ke rumah, menegurku, bertanya tentang keberadaan abangku. Mungkin semuanya telah berubah saat aku mengenakan jilbab.
Bintang...
Aku memang tidak punya cerita khusus tentangnya, tapi aku punya cerita yang tak bisa aku lupa darinya.
Sehabis subuh di bulan Ramadhan, dia berusaha menelpon ke nomor ayahku. Waktu itu hape ayah sudah jadi hape umum dalam keluarga kami. Maklum hapenya cuma satu. Itu bisa jadi hapeku dan hape abangku. Mungkin, dia cuma iseng aja menelpon abangku. Nah, ketika itu aku yang mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum,” ujarku dari jauh. Tanpa ada suara, telponnya terputus. Benar, dia cuma iseng.
Enggak berapa lama kemudian, satu pesan mendarat di hape ayahku. Ternyata itu dari dia, Bang Dani.
“Waalaikum salam,” begitu isi pesannya.
Aku hanya tersenyum membaca pesan itu. Dia mengerti, menjawab salam memang wajib.
Bintang...
Setelah aku kembali ke pesantren dan berada di sana selama satu bulan, aku dengar dia sudah tiada. Dia sudah meninggal. Kata abangku, dia kecelakaan. Aku sedih.
Bintang...
Setelah kejadian itu yang tersisa hanya tatapan mata segannya yang membiarkan langkah kakinya keluar rumahku, lalu ucapan sms “salam”. Selebihnya tidak ada. Dan kini baru menyadari bahwa dia yang menatapku tulus penuh segan. Semoga di sana dia ditempatkan di tempat sebaik-baiknya. Ada salam untukmu, dari seorang gadis kecil berjilbab putih.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^

Salam Cahaya ^_^