Waktu itu hari perpulanganku yang pertama kalinya dari pesantren.
Menginjakkan kaki kembali ke kampung halaman yang sudah tiga bulan aku
tinggalkan. Ramadhan kali ini berbeda, aku nyaris menutup seluruh tubuh ini
dengan pakaian panjang dan jilbab ketika keluar rumah, melayani pembeli di kios
kecil kami, menyapu halaman, mengambil pakaian di jemuran. Rasanya sudah tidak
enak, jika harus keluar rumah tanpa jilbab. Sehabis salat magrib, kami
sekeluarga makan bersama.
Ayah sering kali memutarkan semua mimpi-mimpinya.
Katanya beliau ingin melihatku sukses, kuliah, bergelar sarjana, dan banyak
lagi. Ibuku hanya mengangguk. Dan abangku, Ari hanya terdiam. Maklum ayah
begitu banyak berharap padaku. Aku juga berbagi pengalaman tentang teman-teman
di pesantren, tentang Ustazah Aisyah yang terus memotivasiku berjilbab. Yang
kuingat tentang Ustazah Aisyah waktu itu, beliau suka memutar lagu islami
seperti lagu Maidani, Opick, Raihan, dan banyak lagi. Beliau juga sering sekali
bercerita tentang rakyat Palestina yang dijajah habis-habisan oleh Israel. Setidaknya
aku jadi tahu sedikit tentang Zionis.
“Rupanya Mak, setiap satu (entah 100, maaf lupa) rupiah kita sumbangkan
untuk Israel menyerang Palestina kalau kita beli produk-produk mereka. Dan sayangnya,
rata-rata semuanya yang kita pakai milik mereka,” ungkapku tak kalah
semangatnya. Ibuku sangat antusias mendengar semuanya. Perlahan hanya empat
huruf yang keluar dari bibirnya, “Nurul beruntung masuk pesantren,”. Ibuku
tersenyum manis. Aku rasa mungkin beliau sedang mengingat saat pertama kalinya
aku masuk pesantren. Aku nangis-nangis di kamar mandi.
Sebelum Isya mulai, satu-persatu teman-teman abangku datang ke rumah.
Terakhir kali aku melihat mereka ketika masih kelas tiga SMP, sebelum masuk pesantren.
Kawan-kawan abangku yang kukenal dan datang ke rumah waktu itu hanya Bang Deni,
Bang Dani, Bang Ipan, Bang Andre dan Bang Jimi.
Bintang...
Saat itulah aku bisa menatap mata seseorang yang tulus segan ketika matanya
menatapku. Aku sudah berjilbab. Dia Bang Dani.
Malam itu dia begitu cepat meninggalkan rumah kami dan duduk di luar.
Katanya dia segan sama aku. Mendengar cerita itu dari Bang Deni, aku tersenyum.
Aku bingung dengan keseganannya padahal sewaktu aku masih SMP dulu, dia sering
datang ke rumah, menegurku, bertanya tentang keberadaan abangku. Mungkin
semuanya telah berubah saat aku mengenakan jilbab.
Bintang...
Aku memang tidak punya cerita khusus tentangnya, tapi aku punya cerita yang
tak bisa aku lupa darinya.
Sehabis subuh di bulan Ramadhan, dia berusaha menelpon ke nomor ayahku.
Waktu itu hape ayah sudah jadi hape umum dalam keluarga kami. Maklum hapenya cuma
satu. Itu bisa jadi hapeku dan hape abangku. Mungkin, dia cuma iseng aja
menelpon abangku. Nah, ketika itu aku yang mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum,” ujarku dari jauh. Tanpa ada suara, telponnya terputus.
Benar, dia cuma iseng.
Enggak berapa lama kemudian, satu pesan mendarat di hape ayahku. Ternyata
itu dari dia, Bang Dani.
“Waalaikum salam,” begitu isi pesannya.
Aku hanya tersenyum membaca pesan itu. Dia mengerti, menjawab salam memang
wajib.
Bintang...
Setelah aku kembali ke pesantren dan berada di sana selama satu bulan, aku
dengar dia sudah tiada. Dia sudah meninggal. Kata abangku, dia kecelakaan. Aku
sedih.
Bintang...
Setelah kejadian itu yang tersisa hanya tatapan mata segannya yang
membiarkan langkah kakinya keluar rumahku, lalu ucapan sms “salam”. Selebihnya
tidak ada. Dan kini baru menyadari bahwa dia yang menatapku tulus penuh segan. Semoga
di sana dia ditempatkan di tempat sebaik-baiknya. Ada salam untukmu, dari
seorang gadis kecil berjilbab putih.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^