“Bukankah sesuatu yang hilang
akan kembali dengan sendirinya?” suara itu menjerit-jerit dalam batinku. Ia
masih saja meyakiniku dengan segudang alasan bahwa ia pasti kembali. Aku
menantinya sampai saat ini hingga akhirnya aku tak pernah berjalan beriringan
dengan yang ‘tersedia’ bersamaku menapaki jalan setapak kesenangan dan
keperihan hidup ini. Mataku basah memeluk erat sebuah buku biru tebal yang
berisi kira-kira 100 lembaran. Ternyata kisah ini belum usai, pikirku.
“Apa Kau tahu seperti apa Tuhan
itu?” lagi-lagi kau bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti beberapa waktu
lalu.
Aku berdeham dan mengangguk
pelan. Aku sedikit memalingkan wajah ke arah orang-orang yang sedang berjalan
melewati kami. Wajahku sedikit menengadah ke langit.
“Apa Kau suka melihat awan di
atas sana?” sambungku lagi sambil menunjuk ke arah awan yang begitu tebal namun
terlihat cerah menaungi kami yang sedang berada di bawahnya.
“Itu adalah salah satu ciptaan
Tuhan. Kau tahu, seluruh isi bumi ini dan luar angkasa sana adalah ciptaan-Nya”
ungkapku dengan tempo yang sedikit lambat.
“Kak Nayla”, sapa seorang gadis
manis berjilbab biru muda datang sambil mencium tangan kananku. Dia Laila, adik
kandungku yang berjarak tiga tahun lebih muda. Aku tersenyum. Khayalanku
barusan kabur entah kemana.
“Kapan Kak datang? Rindulah
sama kakak”, ungkapnya penuh manja.
“Baru aja dek. Mulai sekarang
kak tinggal di Indonesia”, sambungku sambil menutup buku catatan harianku
semasa SMA dulu.
“Apa Kak masih mengingatnya?” tanyanya
kembali dengan mata nanar. Laila benar-benar tahu apa yang ada di hatiku
sekarang.
Aku hening dan menatap lekat
mata adikku yang tidak pernah kujumpai itu selama lima tahun berturut-turut.
###
Hiruk pikuk kota Medan masih
menyisa sampai saat ini. Hari ini matahari panas menyengat kulit seakan mematahkan
semangatku untuk mencari seseorang yang telah lama bersarang di hatiku. Bukan
aku ingin menggagalkan perjodohan itu dan pergi bersamanya tapi aku hanya ingin
bertemu dan mengantarkan surat undangan ini untuknya. Setelah itu aku akan
mengatakan bahwa kisah ini telah usai dan pergi meninggalkannya. Hanya itu. Aku
termenung menatap selembar kertas berisi alamat. Sebuah alamat panti
rehabilitasi narkoba. Perlahan tapi pasti, aku melangkah menuju gerbang panti.
Langkahku terhenti tepat di bagian penerimaan tamu. Petugas panti menyambutku
dengan ramah.
“Ada yang bisa saya bantu Mbak”
“Saya lagi butuh data seorang
pasien lima tahun yang lalu”
“Owh, kalau urusan itu, Mbak
datang saja ke bagian Pusat Komunikasi” sambungnya.
Aku bergegas menuju bagian
Pusat Komunikasi dengan ditemani petugas penerimaan tadi.
“Ada yang bisa saya bantu?”
tanya wanita memakai baju seragam biru padaku. Ia adalah pegawai Pusat
Komunikasi di sini.
“Begini Mbak, saya ingin meminta
data pasien lima tahun yang lalu”
“Wah, tidak semudah itu Mbak.
Di sini ada prosedurnya. Hanya keluarga-keluarganya saja yang boleh tau”
“Tapi Mbak, saya ini teman
SMAnya. Nama saya Nayla” aku mulai memperkenalkan diri.
Wanita itu menarik nafas dalam-dalam.
“Ada kepentingan apa Mbak untuk
tahu datanya?”
Aku terdiam sejenak dan mulai
berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya. Awalnya aku malu untuk mengungkapkan
alasannya tapi ini sudah terlalu rumit akhirnya aku menceritakan semuanya.
Mulai dari awal aku mengenalinya hingga sampai saat ini. Pegawai itu tersenyum.
Senyumannya tampak iba menatapku. Sepertinya ia paham. Paham sekali dengan apa
yang aku rasakan. Ia mulai membuka-buka lemari dan mencari data tentangnya,
Ardian Syahputra.
“Pasien hanya menempati panti
ini selama enam bulan. Lalu ia pindah ke Jakarta. Kami juga yang mengurusi
semua surat kepindahannya dari panti ini” ungkap pegawai panjang lebar.
“Boleh aku minta alamat panti
rehabilitasi yang ada di Jakarta? Atau aku minta nomor yang bisa dihubungi
saja”
Pegawai itu tersenyum sambil
memberiku secarik kertas berisikan alamat panti rehabilitasi dan nomor
teleponnya. Ia juga memberiku alamat rumah Andrian yang lama di Medan ini.
“Semoga Mbak mendapat informasi
dari alamat rumahnya yang lama ya” harap pegawai itu lagi.
###
Pencarianku hari ini selesai.
Matahari panas tadi berganti hujan rintik-rintik. Mungkin hujan itu mewakili
hatiku saat ini. Aku takut jika secercah harapan yang kini aku genggam pudar
nantinya. Esok pagi aku melanjutkan pencarian ini. Aku mulai terbaring dan
memejamkan mata.
“Untuk apa sich kau melakukan
ini?” lagi-lagi suara batinku hadir membuatku terbelalak. Ya. Aku mengerti
seharusnya cerita ini telah usai. Seharusnya aku tak berada di penginapan ini
dan seharusnya pula aku mempersiapkan diri menjadi istri soleha Mas Raihan,
lelaki yang satu minggu lagi akan sah menjadi suamiku. Sayangnya, kami tak
saling kenal. Sudah setahun yang lalu orang tua kami menjodohkan. Aku dan Mas
Raihan tidak pernah berhubungan walaupun hanya sekedar sms saja. Kabar yang
kudengar Mas Raihan juga tidak tahu siapa aku, dan siapa namaku. Yang dia tahu
aku adalah anak dari Pak Chandra, teman ayahnya sewaktu masih SMP dulu. Mas
Raihan itu adalah seorang ustad muda terkenal di Jakarta. Alasannya untuk tidak
mengetahui siapa aku, dia hanya takut jika akhirnya dia kecewa atau bahagia
setelah tahu siapa aku. Alasan yang kurang masuk akal kurasa.
Suara hapeku berdering. Tenyata
ayah yang menelpon.
“Assalamualaikum. Kapan pulang
ke Brandan Nak?” tanya ayah dari seberang sana
“Waalaikumsalam yah. Mungkin
lusa Nayla akan pulang. Masih ada urusan di Medan ini yah”
“Nak, akad nikah kamu kami
percepat. Enggak jadi minggu depan tapi tiga hari lagi”
“Apa? Kok bisa dipercepat begitu
yah?” sontakku kaget.
“Tapi yah, Nayla belum ada
mempersiapkan apapun” sanggahku lagi dan berharap ayah memperlambat semua
proses pernikahan ini sampai aku bertemu dengan Adrian.
“Maafkan ayah Nay. Raihan
keluar negeri minggu depan, makanya akad nikahnya dipercepat sekalian pestanya.
Ummimu sudah mempersiapkan semuanya. Kamu tinggal pulang ke rumah saja” jelas
ayahku sambil mengakhiri telpon itu.
Angin berhembus pelan menerobos
tirai kamar penginapan yang sudah kupesan selama tiga hari ini. Sepertinya aku
memang harus meninggalkan kisah ini. Aku takut ayah tahu alasanku ke Medan
hanya untuk menemukan masa laluku. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi ini sangat
berarti bagiku. Bagi seseorang yang pertama kali jatuh cinta. Bagi seseorang
yang terbuai dalam keagungan cinta.
###
Tadi pagi aku sudah mengunjungi
rumah lama Adrian. Namun sama sekali aku tidak mendapatkan informasi. Aku juga
sudah menelpon panti rehabilitasi yang pernah didiami Adrian di Jakarta, tapi
mereka merahasiakan semua tentang Adrian walaupun aku sudah menjelaskan maksud
dan tujuanku. Aku lemas. Hari ini aku putuskan untuk kembali ke rumah dan
melakukan skenario yang sudah ayah perintahkan untukku.
###
Malam ini adalah malam terakhir
bagiku untuk mengakhiri masa kesendirian. Sesudah salat Isya tadi aku berdoa
pada Tuhan agar Tuhan mampu merahasiakan semua tentang perasaanku ini. Aku
sedih. Aku mulai mengenakan baju gamis panjang dengan balutan jilbab yang
warnanya senada dengan bajuku. Aku berhias diri.
“Saya terima nikahnya Nayla
Azzura binti Chandra Wijaya dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas senilai empat puluh juta rupiah dibayar
tunai” ungkap Mas Raihan tanpa ragu.
Semua orang bertepuk tangan
dengan gembira. Sedangkan aku meneteskan air mata. Ternyata Mas Raihan adalah
jodohku yang dipilih Tuhan. Ummi menuntunku keluar kamar menuju ruang tamu,
tempat akad nikah berlangsung. Aku menunduk.
Aku masih tidak berani menatap
suamiku. Lalu denagn adegan yang sudah dilatih ayah tadi siang. Aku meraih tangan
pertama seorang lelaki selain ayahku dan mulai mencium tangannya. Aku
mengangkat wajahku sedikit dan menatap wajah suamiku.
Waktu terasa berhenti saat itu.
Aku tak bisa berkata lagi. Wajahku pucat.
Subhanaallah, batinku menjerit. Air mataku meleleh seketika.
“Adrian? Apa itu Kau?” tanyaku
penuh kaget.
“Jangan memanggilku dengan
Adrian. Aku Mas Raihan sekarang. Adrian itu masa lalu” ungkapnya penuh
kelembutan.
Aku masih tidak bisa
mengedipkan mata.
“Apa kau sudah tahu tentang
perjodohan ini sebelumnya?” tanyaku lagi.
“Demi Allah, aku sama sekali
tidak tahu kalau ternyata kamu adalah jodohku. Aku hanya menurut semua
perkataan orang tuaku. Aku hanya yakin bahwa Allah akan memberikanku jodoh yang
terbaik. Hanya itu Nay” ia menjawab penuh rasa percaya diri.
“Nayla harus terbiasa memanggilku
Mas Raihan ya. Jangan Adrian lagi” tambahnya lagi dengan senyuman yang paling
manis. Senyuman yang pernah ia berikan padaku ketika perpisahan sekolah tiba.
Angin sepoi-sepoi berjalan
perlahan menuju kamar kami. Ia mulai bergerak membuka-buka lembaran buku biru
yang sejak kemarin aku tinggalkan di atas meja belajarku. Sayangnya angin tak
mampu lagi membuka lembaran terakhir.
Biarlah pencarian itu hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Biarlah ia tetap bungkam hingga Tuhan mengabulkan setiap bait doaku. Ternyata kau
kekasih halalku. Orang yang aku inginkan adalah yang terbaik untukku. Aku
mencintai Adrian dan Mas Raihan. Selamanya hingga Tuhan membalikkan hati ini.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung ke blog saya ^_^
Salam Cahaya ^_^